Thursday, March 31, 2011

Bagaimana Demokrasi di Indonesia?

Ir. Soekarno

Apakah demokrasi itu?

Demokrasi adalah ’pemerintahan rakjat’.

Tjara pemerintahan ini

memberi hak kepada semua rakjat untuk ikut memerintah.

Tjara pemerintahan ini

sekarang menjadi tjita-tjita semua partai nasionalis Indonesia.

Tetapi dalam mentjita-tjitakan faham dan tjara-pemerintahan demokrasi itu,

kaum Marhaen toch harus berhati-hati.

Artinya:

djangan meniru sahaja ’demokrasi-demokrasi’

yang kini dipraktekkan di dunia luaran….

Ir Soekarno, “Di Bawah Bendera Revolusi” (1965)

Soekarno mempunyai pandangan sendiri mengenai demokrasi. Demokrasi khas Eropa dinilai tak sesuai dengan demokrasi kaum Marhaen di Indonesia. Ia menulis, “demokrasi” yang begitu hanyalah demokrasi parlemen saja, hanya demokrasi politik saja, sementara demokrasi ekonomi tak ada. Soekarno menulis: demokrasi politik saja belum menyelamatkan rakyat. Kaum nasionalisme Indonesia tak boleh mengeramatkan “demokrasi” seperti itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi ia harus mencari selamatnya semua manusia.

Selamatnya rakyat menjadi titik sentral dari pandangan Soekarno. Pandangannya soal nasionalisme sebuah bangsa selalu dikaitkan dengan pandangannya soal humanisme. Ia menyebut, nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan. Mencari demokrasi Demokrasi selalu menyertai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ada demokrasi parlementer atau demokrasi liberal (1950-1959), ada demokrasi terpimpin (1959-1966) di bawah Soekarno, ada juga demokrasi Pancasila yang dikontrol Soeharto (1967-1998). Pasca-Soeharto, Indonesia kembali memasuki era demokrasi pascatransisi, entah liberal atau demokrasi model lain.

Tujuh puluh lima tahun kemudian, pandangan Soekarno mengenai demokrasi sebagaimana ditemukan di halaman 171 buku Di Bawah Bendera Revolusi menarik untuk diperbincangkan. Berhentinya Soeharto tahun 1998 mengantarkan Indonesia ke era demokrasi pascatransisi dengan sistem multipartai yang ekstrem. Perubahan UUD 1945 menjadi kunci pembuka.

Komisi negara tumbuh. Pers menikmati kebebasan. Orang bebas berpendapat dan berorganisasi. Rakyat berhak memilih sendiri siapa pemimpinnya. Sekali merdeka, merdeka sekali! Begitu ungkapan sinis orang. Proses pencarian demokrasi terus berlanjut sampai akhirnya Mahkamah Konstitusi memberikan landasan konstitusional bolehnya calon perseorangan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.

Apakah itu potret demokrasi yang memang kita dambakan? Salah seorang panelis dalam diskusi politik “Sepuluh Tahun Krisis Multidimensi” berpendapat, “Sejak awal kita tidak memiliki cetak biru mengenai demokrasi Indonesia.” Ia juga menyebutkan pembangunan demokrasi di era 1998-an terlalu difokuskan pada politik Jakarta.

Meskipun demikian, kehadiran demokrasi di Indonesia bukanlah tidak membawa manfaat. Partisipasi politik yang tinggi adalah buah dari hadirnya sistem demokrasi. Rakyat boleh mengorganisasikan diri untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi politik melahirkan lompatan yang besar. Pada sisi lain, rakyat mereguk kembali kebebasan sipil dan politik mereka. Rakyat menikmati kebebasan berpendapat. Rakyat menikmati kebebasan berorganisasi. Secara umum, kebebasan sipil bisa dinikmati meskipun di sisi lain hak fundamental dari sekelompok masyarakat—bisa dengan penilaian sesat atau menyimpang—bisa dihilangkan begitu saja oleh kelompok masyarakat lain.

Pada kondisi ini, kekhawatiran Fareed Zakaria, editor Newsweek International, menjadi relevan. Demokrasi menjadi tidak liberal. Kebebasan politik mendapat tempat, tetapi kebebasan sipil (civil liberties), khususnya kebebasan beribadah kelompok minoritas, justru terancam. Dalam era demokrasi sekarang, kompetisi politik untuk meraih jabatan publik relatif terbuka. Seorang demagog bisa bersaing dengan seorang politisi atau bahkan negarawan untuk memperebutkan ruang-ruang publik. Demokrasi membuka ruang persaingan antarkelompok rakyat (popular rivalries) ataupun propaganda elite.

Proses seleksi pejabat publik menjadi transparan dan relatif akuntabel meskipun dalam kenyataannya perekrutan pejabat publik membutuhkan biaya yang mahal dan hasilnya pun masih bisa mengundang keraguan publik.

Kendati demikian, sistem demokrasi telah melahirkan sejumlah hal positif. Praktik demokrasi Indonesia membutuhkan penyempurnaan. Kesepakatan atas ideologi negara hukum (rule of law) dan penegakan hukum tentu merupakan pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan.

Penegakan hukum, khususnya soal pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang merupakan amanat reformasi, masih dipandang diskriminatif. Meskipun ruang kompetisi terbuka, kelemahan justru menerpa akuntabilitas, baik vertikal maupun horizontal. Sistem pemilihan umum yang dibangun tidak menghasilkan sistem akuntabilitas yang jelas. Tak jelas relasi antara pejabat terpilih dan orang yang memilih. Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan batas teritorial yang jelas juga tak menciptakan sistem akuntabilitas yang jelas. Bagaimana mekanisme pelaporan anggota DPD Jakarta atau Yogyakarta, misalnya, terhadap rakyat yang memilihnya tetaplah menjadi sebuah pertanyaan. Rakyat berdaulat tiap lima tahun. Akuntabilitas horizontal juga bermasalah. Saling kontrol antara lembaga-lembaga negara, termasuk dengan komisi-komisi negara, juga menimbulkan masalah yang tak kalah rumitnya.

Parameter lain menyangkut responsivitas sistem demokrasi Indonesia masih mengundang masalah. Bagaimana sistem politik merespons korban lumpur Lapindo menunjukkan sistem politik demokrasi tak berjalan. Interpelasi memang digalang sejumlah anggota DPR, tetapi interpelasi hanyalah menciptakan kegaduhan politik yang tak membawa manfaat. Tingkat responsivitas sistem politik demokrasi dirasakan berada dalam titik nadir. Sistem politik demokrasi seakan tak berdaya untuk mengatasi melonjaknya kemiskinan. Tak bisa berbuat apaapa untuk menyediakan lapangan kerja. Pilihan demokrasi disalahkan! Ditawarkanlah sistem politik lain yang sebenarnya juga sama-sama diragukan.

Namun, pertanyaan: apakah kelambatan merespons keadaan merupakan kelambatan dari sistem politik demokrasi atau dari aktor-aktor demokrasi itu sendiri? Dalam kenyataan seperti itulah, pandangan Soekarno menjadi relevan. Demokrasi politik tidaklah cukup. Orang tidak cukup hanya bisa hidup dari politik, melainkan juga demokrasi ekonomi. Bicara soal hak asasi bukan hanya soal hak sipil dan politik, tetapi juga hak ekonomi sosial budaya. Bicara soal hak asasi manusia diawali dengan sarapan pagi. Robert Dahl dalam buku On Democracy (1999) menyebutkan persyaratan penting bagi demokrasi, antara lain pengawasan militer/polisi oleh pejabat sipil, keyakinan demokrasi dan kebudayaan politik, serta tidak ada kontrol asing yang memusuhi demokrasi.

Mengutip pendapat Jack Snyder dalam buku Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (2003), demokrasi Indonesia belumlah matang. Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia yang dipresentasikan pada Mei 2006 mengonfirmasi keraguan orang akan demokrasi. Survei itu menunjukkan pandangan: demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik mencapai 72 persen. Padahal, di negara demokrasi yang sudah mapan dukungan terhadap demokrasi sebagai sistem terbaik rata-rata 84 persen.

Demokrasi Indonesia memang masih dalam proses. Demokrasi membutuhkan sosok yang mampu mengarahkan ke mana demokrasi akan dibawa. Sosok yang mempunyai visi yang benar mengenai demokrasi, memiliki cara komunikasi politik yang penuh empati, serta mempunyai kecerdasan akademik dan emosional untuk membawa Indonesia ke dalam sistem politik demokratis. Masalahnya: Indonesia inflasi dengan “demokrasi”, (orang bebas bicara apa pun atas nama demokrasi, orang memblokir jalan tol yang merugikan kepentingan publik dengan dalih demokrasi, atas nama demokrasi orang bisa menghakimi kelompok lain yang dicap sesat), tetapi di sisi lain Indonesia mengalami defisit demokrat. Inilah tantangannya!

Pemikiran Gus Dur (3)

Damai Dalam Pertentangan

Oleh KH. Abdurrahman Wahid

Memang ironis kalau simbol lebih dikenal dari kenyataan. Tapi itulah yang terjadi di Tokyo bulan lalu, April 1983. Film Gandhi, yang baru saja memenangkan delapan Oscar di Hollywood, diputar serentak di sekian bioskop. Karcis dibeli berebutan . Masyarakat Jepang rupanya disentuh nuraninya oleh film yang menggambarkan perlawanan tanpa kekerasan.

Namun sebuah kejadian lain di Tokyo waktu itu hampir-hampir tidak memperoleh perhatian. Hanya dimuat dalam berita pendek di sudut bawah koran-koran Jepang: Uskup Agung Helder Camara menerima Hadiah Niwano untuk perdamaian. Padahal tahun inilah hadiah itu pertama kali di berikan.

Hadiah Niwano rencananya akan dikeluarkan tiap tahun oleh Yayasan Perdamaian Niwano, salah satu lembaga yang berasal dari gerakan kaum Budhis terbesar di Jepang, Rissbo-Kosei-Kai. Di samping memberikan hadiah untuk prestasi terbaik dalam menumbuhkan saling pengertian antar agama dan memajukan perdamaian, yayasan itu juga menjadi sponsor Konperensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (World Conference on Peace and Religion) yang sudah berlangsung tiga kali sampai saat ini.

Dan hadiah Niwano justru punya arti penting oleh pemilihan pemenangnya yang pertama kali ini: Uskup Agung Olinda-Recife, Brazilia, Helder Pessoa Camara, yang oleh penggemarnya disebut Dom Helder. Ialah "uskup merah". Yang berarti, hadiah perdamaian itu diberikan berdasar pertimbangan yang tidak konvensional tentang ‘perdamaian' itu sendiri. Ini menjadi jelas bila bentuk penghargaan baru itu dibandingkan dengan Hadiah Nobel untuk perdamaian.

‘Perdamaian', dalam Hadiah Nobel, mengandung arti menghindarkan , melerai, mengurangi atau menyelesaikan konflik. Konfliknyapun tidak dibatasi, baik terorisme bersenjata di Irlandia Utara maupun pertentangan politik seperti sengketa Arab-Israel. Tidak heran kalau dari pejuang palang merah sampai pejabat pemertintah dapat meraih penghargaan itu ( Sadat dan Begin, misalnya ). Juga pejuang kemanusiaan dalam arti umum seperti Albert Schweitzer yang bergulat dengan penyakit Lepra di Afrika Hitam, atau suster Marie Therese yang mengurusi kaum melarat di Calcutta, India.

Dalam wawasan serba konvensional itu yang ditinggalkan Yayasan Niwano, setidaknya tahun ini. ‘Uskup Merah' Dom Helder tidak akan memperoleh julukan julukan merah kalau ia menghindar dari konflik. Yang dilakukannya justru mendorong berlangsungnya perlawanan terhadap kekuasaan militer yang menindas rakyat dan struktur yang timpang, di negaranya sendiri maupun di seluruh Amerika Latin umumnya.

Hanya saja perlawanan yang diserukan dan ditunjangnya bukan perlawanan bersenjata, apalagi terorisme. Dan disini ia memenuhi kedua Krieria Yayasan Niwano: memajukan perdamaian dan sekaligus mengembangkan saling pengertian antar agama. Dan caranya dianggap unik.

Bermula dari keyakinan akan kebenaran moralitas yang bersandar pada rasa kasih sayang, ia menghimbau kalangan rohaniawan agamanya sendiri untuk menegakkan masyarakat baru yang tidak diwarnai penindasan. Upaya menghilangkan penindasan berarti kesediaan untuk turut menegakkan struktur ekonomi yang adil - yang bebas dari ekploitasi kalangan yang oleh Dom Helder di sebut ‘mereka yang memiliki uang', alias kaum modal. Kalau pemerintah, dan kekuasaan yang ada, mengukuhkan struktur eksploitatif, kalangan agama harus memunculkan alternatif mereka di bawah swadaya masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan, membebaskan dari kungkungan hukum yang tidak adil dan memperjuangkan hak-hak asasi.

Petani didorong berani mengambil inisiatif dan memulai perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah, alias Landreform. Dilanjutkan dengan membentuk usaha prakooperatif. Kaum buruh di kota didorong berani menuntut hak mereka dari pihak majikan- kalau perlu dengan pemogokan. Generasi muda diimbau memperjuangkan hak-hak politik sepenuhnya, kalau perlu dengan demonstrasi. Dan kalangan Intelektual diminta mempelopori jaringan pendidikan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan golongan miskin ; penyadaran akan keberadaan mereka dan kemampuan yang mereka miliki untuk mengubah nasib.

Sikap seperti itu, menurut kacamata Uskup Agung Helder Camara, adalah inti perdamaian. Itulah upaya menegakkan masyarakat yang benar-benar adil. Hanya saja upaya tersebut dilakukan tidak dengan merobohkan sistem kekuasaan yang ada, melainkan mengubahnya berangsur-angsur.. Tindak kekerasan dari pemegang kekuasaan harus dihadapi dengan sikap menentang bentuk kekerasan itu sendiri. Disini bertemulah sikap menjunjung tinggi perdamaian (tanpa mengurangi sedikit pun kewajibang menentang struktur masyarakat yang timpang ) di satu pihak dan sikap mengembangkan saling pengertian antar agama di pihak lain.

Dom Helder memang secara terbuka ‘meminjam' cara-cara yang dikembangkan agama lain. Yaitu dari perjuangan Mahatma Gandhi di lingkungan agama Hindu dan Martin Luther King di kalangan agama Protestan. Gandhi memperjuangkan kemerdekaan India, sedangkan King memperjuangkan hak-hak sipil golongan kulit hitam di Amerika Serikat, namun keteguhan mereka untuk berjuang secara militan tanpa kekerasan adalah sesuatu yang secara universal dapat dilakukan kalangan mana pun termasuk kalangan Katholik Amerika Latin - mungkin demikian jalan pikiran Helder . Bukankah dengan saling pengertian mendasar antaragama seperti itu, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan, dan kasih sayang?

Banyak yang dapat diambil dari kiprah menegakkan perdamaian di tengah pertentangan, dan saling pengertian di tengah perbedaan ajaana dan paham. Relevankah pelajaran itu bagi kita ? Kita sendiri sudah tentu tahu jawabannya - walaupun aneh juga bahwa dari Indonesia datang pencalonan untuk hadiah tersebut, yang mengusulkan seorang jendral. Konsepnya tentang perdamaian tentu lain lagi

Pemikiran Gus Dur (2)


Negara Hukum Ataukah Kekuasaan

Oleh Abdurrahman Wahid

Minggu ini diramaikan dengan tindakan sepihak oleh Front Pembela Islam (FPI), atas kompleks milik sebuah organisasi Islam Ahmadiyah di Bogor. Mau tidak mau, kita lalu menjadi tercengang karena "serangan" itu akibat dari fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa gerakan Ahmadiyah dalam segala bentuknya dilarang oleh Islam. Pendapat ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Sedang badan yang berwenang dalam hal ini, yaitu Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) di lingkungan Kejaksaan Agung mengatakan gerakan Ahmadiyah Qadiyan saja yang dilarang oleh ajaran Islam, sedangkan aliran lainnya tidak demikian. Karena itu, patutlah kita saat ini mengajukan pertanyaan: manakah yang akan dipakai keputusan berdasarkan Undang-Undang Dasar, ataukah pendapat sebuah lembaga betapa terhormatnya sekalipun, seperti MUI.

Soal serupa pernah juga penulis alami, yaitu ketika gerakan Baha'i-isme terkena tindakan oleh Komando Distrik Militer (Kodim) di Kabupaten Pati beberapa tahun yang lalu. Pada saat itu penulis mengambil sikap tegas, karena pihak Kodim melarang sekolah untuk menerima anak-anak orang Baha'i untuk turut ujian SMP, karena ada larangan tertulis atas Baha'iisme berdasarkan sebuah Keputusan Presiden (Kepres) No. 264/1962. Penulis menentang keputusan itu, menurut penulis hal itu bertentangan dengan undang-undang dasar dan dengan demikian batal demi hukum. Ketika menjadi Presiden melalui Kepres No. 69/2000 (Kepres klik di sini, red) penulis mencabut Kepres No. 264 itu. Walaupun Mahkamah Agung tidak mengeluarkan keputusan dalam hal itu, tetapi aparat kekuasaan memahami kenyataan yang ada. Akhirnya keputusan sebelumnya itu tidak dilaksanakan dan menjadi "barang mati". Tapi mengapa hal ini tidak terjadi pada kasus di Bogor tersebut?

Karena Mahkamah Agung tidak mengeluarkan keputusan dalam kasus di Bogor ini, patutlah kita bertanya kepada diri sendiri: siapakah yang berkuasa di negeri kita saat ini? Hukum kah atau kekuasaan? Dalam beberapa hal kekuasaan memang memerintah secara luas, seperti dalam kasus Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dikhawatirkan apabila pemeriksaan atas lembaga itu oleh alat penegak hukum, maka akan membuka kesalahan demi kesalahan yang dilakukan KPU selama ini dari sudut Undang-Undang. Dan seluruh proses Pemilihan Umum dari pemilu badan-badan legislatif hingga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang dalam pandangan penulis tidak memiliki keabsahan hukum dan kejujuran, membuat hasilnya tidak memiliki legitimasi. Persoalannya adalah perlukah proses itu diulang kembali, padahal kita tidak mampu untuk itu?

Sebagai bangsa, kita patut mempertanyakan kedua hal itu: siapakah yang berkuasa? Dan perlukah pemilu diulang kembali? Pertanyaan ini penting untuk masa depan kita karena terkait dengan pertanyaan akankah kita memiliki negara demokratis ataukah tidak? Sudah tentu, ada "tuduhan" ke arah penulis, bahwa ia membuat kekacau-balauan hidup kita sebagai bangsa. Namun penulis beranggapan harus ada yang memimpin ‘kemampuan' bangsa kita di saat ini dan masa depan. Kalau bertanya saja kita sudah tidak mampu, bukankah ini berarti sudah terjadi ketakutan antara fakta dengan lemahnya kontrol atas perbuatan kita sendiri? Bukankah pemerintah sendiri wajib menengakkan demokrasi?

Karenanya, kedua pertanyaan diatas dikemukakan dalam tulisan ini, guna memulai sebuah proses yang memiliki legitimasinya sendiri. Bukankah kita tidak akan membiarkan bangsa ini kembali ke masa lampau yang otoriter, dengan kekuasaan mengendalikan seluruh aspek kehidupan bangsa seperti pada pemerintahan Orde Baru sebelum 1999? Kalau memang benar demikian, lalu apa perlunya dilakukan reformasi politik yang dimulai tahun 1998, jika sikap serba tanggung seperti yang diperlihatkan sekarang oleh pihak memerintah, hanya akan berakibat lebih hancurnya pemerintahan kita. Naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) adalah hasil dari "perkawinan" sikap takut dan serba tanggung tadi. Jadi kita harus menentukan, model lama atau baru yang dipakai?

Karenanya, menjelang ulang tahun ke-lima Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), saatnya sangat tepat untuk mempertanyakan kepada diri sendiri, benarkah kita negara hukum ataukah negara kekuasaan? Memang, peradilan kita masih dikuasai oleh sebuah mafia, tapi dapat kita lihat bahwa ada perkembangan menuju ke arah perubahan fundamental pada kekuasaan hukum. Pihak yang menginginkan kekuasaan hukum menjadi hilang, lamban laun akan didesak oleh kenyataan oleh sistem peradilan kita yang ternyata masih menggunakan patokan hukum. Kalau ini didorong terus, maka kita akan percaya bahwa demokrasi akan tumbuh dengan baik di negeri kita. Karenanya, dua persoalan di atas memerlukan jawaban tuntas dari kita semua: benarkah hukum berkuasa dinegeri ini ataukah pemegang kekuasaan?

Jika Amerika Serikat dalam ujung abad ke 18 masehi dipenuhi oleh perdebatan antara hak-hak individu yang diwakili Thomas Jefferson, melawan hak-hak kolektif masyarakat yang diwakili oleh negara-negara bagian dengan pendekar Alexander Hamilton, maka negeri kita baru diabad ke-21 ini mengalami perdebatan antara hak-hak masyarakat berhadapan dengan hak-hak individu, yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Dalam tatanan ini, gerakan apapun di masyarakat, seperti gerakan semacam Front Pembela Islam (FPI), betapa benarnya sekalipun ia dari sudut ajaran agama, tidak berhak melakukan tindakan melawan hukum seperti yang dilakukannya di Bogor terhadap para pengikut Gerakan Ahmadiyah. Tindakan yang mereka lakukan bertentangan dengan hukum dan UUD, karena apa yang dilakukan orang-orang Ahmadiyah itu tidak bertentangan dengan peraturan dan Undang-Undang.

Ini perlu dikemukakan disini, karena ada anggapan bahwa langkah-langkah FPI itu didasarkan kepada keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sebenarnya harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan UUD dari sudut teoritik. Ketundukan kepada UUD itu mencerminkan kenyataan kita adalah sebuah negara hukum, sedang perbuatan FPI itu mencerminkan sikap dan anggapan bahwa negara kita adalah negara kekuasaan (mach state) dan bertentangan dengan bunyi UUD kita sendiri. Ini tidak berarti negara harus melakukan tindakan kekerasan kepada FPI, melainkan melakukan pendidikan kembali untuk menanamkan prinsip kedaulatan hukum (law sovereignty) itu. Kekerasan hanya digunakan jika benar-benar diperlukan oleh negara untuk menengakkan kedaulatannya.

Karenanya, perkembangan keadaan harus diikuti dengan penuh kecermatan. Hal-hal yang benar-benar perlu diubah harus mengalami perubahan, kalau perlu diganti. Orang-orang Kristen Mormon di AS abad lampau harus menerima bahwa Undang-Undang di negeri itu yang melarang orang kawin lebih dari seorang istri, walaupun ajaran semula dari kaum itu memperkenankan empat orang istri. Perubahan seperti itu, menunjukkan dengan nyata bahwa hal tersebut merupakan bagian dari upaya melestarikan dan membuang yang terjadi dalam sejarah manusia, bukan?

RSCM, 20 Juli 2005

Pemikiran Gus Dur (1)

Lain Jaman, Lain Pendekatan

Oleh: Abdurrahman Wahid

Persoalan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih terus dibicarakan orang. Walaupun KH. M. Sahal Mahfudz telah berusaha sekuat-kuatnya menjelaskan, namun tidak berhasil menenangkan masyarakat, bahkan MUI-pun menjadi sasaran guyonan masyarakat banyak. Bahkan ada yang menyatakan, MUI adalah singkatan Majelis Uang Indonesia. Contoh plesetan yang tidak menggelikan ini, sebenarnya menggambarkan perasaan masyarakat yang berang terhadap ‘kesalahan' MUI. Bahkan sikap salah seorang ketuanya yaitu KH. Ma'ruf Amin yang menyatakan ia optimis Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan mendukung MUI dalam hubungan dengan melarang gerakan Ahmadiyah Indonesia, dirasakan sebagai sikap arogan dan tidak bertanggung jawab.

Bukan hanya penulis, yang melihat masalahnya dari sudut konstitusi, tapi orang-orang seperti Dr. Azyumardi Azra, Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif (yang disegani orang karena sikapnya yang hati-hati), dan Dr. M. Syafi'i Anwar, semuanya menolak fatwa MUI itu. Bahkan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang ada di lingkungan MUI dihadapkan kepada reaksi marah dari para anggota Muhammadiyah sendiri, termasuk ketuanya Din Syamsuddin. Bahkan seorang tokoh Muhammadiyah yang berpengaruh besar seperti Prof. M Dawam Rahardjo berpendapat, menuntut supaya MUI dibubarkan saja. Kira-kira menurut pendapat penulis, karena sikap MUI terhadap minoritas seperti GAI (Gerakan Ahmadiyah Indonesia). Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, memahami benar bahwa GAI dilindungi oleh konstitusi kita, betapapun kita berbeda pendirian dengan mereka.

Sedangkan argumentasi orang-orang yang tergabung dalam usaha pelarangan atau yang mendukung argumentasi untuk melarang GAI itu, adalah bahwa Saudi Arabia melarangnya. Namun dilupakan Saudi Arabia adalah sebuah negara Islam, sedangkan Republik Indonesia bukan. Kita adalah sebuah negara nasional yang berlandaskan Pancasila, karena itu dapat menerima perbedaan apapun dalam faham kenegaraan (kecuali komunisme dalam pandangan sejumlah orang). Jika kita larang GAI, karena berbeda dari pendapat doktriner sebagian besar kaum muslimin di negeri ini, konsekuensinya kita juga harus melarang pandangan-pandangan kaum Kristen dan Katholik, Buddha, Hindu dan lain-lain. Bukankah keyakinan mereka juga tidak sama dengan keyakinan keimanan mayoritas kaum muslimin?

Maka dapat dipahami ‘kemarahan' orang terhadap fatwa MUI itu. Karena bukannya menolong pemerintah untuk mencarikan jawaban terhadap keadaan yang ‘mengharuskan' pencarian solusi bagi krisis multidimensi yang sedang kita hadapi, atau setidak-tidaknya menahan diri dari setiap tindakan yang memperburuk hubungan antara kita, fatwa MUI itu justru membawa masalah baru dalam hubungan antara berbagai agama di negeri kita. Pandangan serba sempit yang dimiliki MUI itu akan merugikan seluruh komponen bangsa.

Kita harus saling mengingatkan, bahwa kita memiliki kewajiban agar apapun perbedaan pendirian kita, kita harus hidup bersama dalam satu ikatan. Bahwa perbedaan demi perbedaan yang ada, seharusnya mendorong munculnya sikap yang arif bijaksana, bukannya sikap yang membuat hubungan yang ada menjadi semakin buruk, seperti pendapat MUI yang menimbulkan reaksi yang begitu keras.

Memang pada akhir-akhir ini kita melihat bahwa di lingkungan gerakan-gerakan Islam mulai muncul ‘hal-hal tidak sedap', seperti munculnya sikap lebih keras di kalangan kaum muslimin, untuk memunculkan ‘kelebihan' ajaran-ajaran agama Islam di atas berbagai ajaran agama-agama lain. Sebenarnya unutk memenuhi ‘kebutuhan' akan hal itu, justru diperlukan kearifan untuk menahan diri di kalangan para pemimpin Islam sendiri.

‘Salah baca' para pimpinan MUI justru berakibat pada reaksi berlebihan dari kaum muslimin sendiri. Kalau saja hal ini disadari oleh para pemimpin MUI, tidak akan terjadi apa yang kita saksikan minggu lalu itu, yaitu penyerangan sejumlah Masjid Ahmadiyah. Para pemimpin MUI justru melupakan sebuah kenyataan penting berupa rumusan ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu "Telah Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, untuk saling mengenal" (I nna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja'alnakum syu'uban wa qabaila li ta'arafu). Dan sikap dasar dari ketentuan Tuhan itu adalah "Dan berpeganglah kepada tali Allah secara keseluruhan, dan jangan terpecah-belah" (wa'tashimu bi habli Allah jami'an wa la tafarraqu).

Sikap dasar ini juga merupakan antisipasi terhadap kenyataan akan masa depan agama Islam dan kaum muslimin, seperti telah terbukti dewasa ini yaitu Islam merupakan agama besar, tanpa mengecilkan agama-agama lain. Inilah yang belum disadari oleh para pemimpin MUI maupun para pemimpin berhaluan keras yang ada di kalangan kaum muslimin sendiri pada saat ini. Sikap-sikap keras yang kita lihat masih ada di kalangan kaum muslimin mudah-mudahan akan hilang melalui pendidikan yang lebih baik dan komunikasi yang lebih intens.

Bisa kita gambarkan upaya para pemimpin muslim di masa lampau, seperti Sir Sayyed Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh di Mesir. Di masa lampau, mayoritas kaum muslimin pada waktu itu bersikap keras pada orang lain, karena memang kolonialisme masih merajalela. Karena itu sikap toleransi yang mereka perlihatkan dianggap sebagai tindakan ‘menyerahkan diri' kepada agama lain. Tetapi pendidikan dan komunikasi yang berkembang antara kaum muslimin dan pihak-pihak lain, membuat kita menyadari bahwa memang diperlukan kearifan dan kebijaksanaan dalam hal ini.

Hanya saja di kalangan orang-orang yang berpengetahuan agama Islam tidak cukup mendalam, justru terjadi kecurigaan yang berlebih-lebihan terhadap orang lain, yang menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada, bukannya mencari titik temu antara Islam dengan agama-agama lain itu. Karena itulah, timbullah reaksi yang mengacu kepada penggunaan "bahasa kekerasan" dari Islam terhadap agama-agama lain. Inilah sisa-sisa warisan lama yang harus kita rubah melalui pendidikan dan komunikasi antar golongan. Ini berarti terhadap keadaan yang berubah, respon kita juga harus mengalami perubahan pula. Perubahan respon ini adalah kewajaran dalam perkembangan manusia, bukannya keadaan yang harus diteruskan dari generasi ke generasi. Tanpa memahami "keharusan sejarah" ini maka dapat berakibat fatal bagi diri kita sendiri, minimal bagi peranan kita dalam kehidupan bersama. Jawaban yang tepat hanya diperoleh mereka yang memahami keadaan secara tepat pula.

Apa yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian saja dari begitu banyak hal-hal rumit yang dihadapi oleh kaum muslimin. Tetapi merespon dengan sikap keras merupakan sesuatu yang tampak dengan segera dalam pandangan bangsa ini. Mengapa? Karena kaum muslimin tidak hidup sendirian di sini, melainkan ditakdirkan oleh Allah untuk hidup bersama-sama dengan orang-orang beragama lain. Bahkan kaum muslimin sekarang ini harus hidup dengan mereka yang tidak ber-Tuhan, atau mereka yang memiliki kerangka etis yang lain, seperti kerangka dari ‘masa lampau'. Ini adalah bagian dari upaya melestarikan dan membuang yang senantiasa terdapat dalam proses sejarah umat manusia, bukan?Jakarta, 2 Agustus 2005