Tuesday, January 26, 2010

Sudahkah tepat Demokrasi yang kita anut - 2

B. Torehan Kolonial
Negara Indonesia secara yuridis memang baru berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian, jika berbicara demokrasi Indonesia mustinya dibicarakan sejak Indonesia merdeka tersebut. Akan tetapi dalam perspektif waktu, kehadiran Republik Indonesia sesungguhnya melalui proses yang panjang, terutama masa Kolonial. Jima demokrasi dipandang sebagai pagam yang anti otokrasi, maka sesungguhnya demokrasi memiliki akar juga di masa Kolonial. Untuk itu sebagai
kajian historis, perlu kiranya dilacak akar-akar demokrasi yang pernah diciptakan pada masa kolonial.
Negara Kolonial (Hindia Belanda) sesungguhnya bukan sebuah negara
demokrasi. Akan tetapi di negeri induknya dijalankan sistem pemerintahan demokrasi. Ide-ide demokrasi berpengaruh terhadap pemikiran para pejabat kolonial, sehingga banyak muncul pemikiran untuk mengubah tatanan pemerintahan yang dianggapnya sebagai “feudal”. Percobaan demokrasi di Indonesia pada masa Kolonial dimulai dari tingkat desa. Ini sangat menarik untuk dicermati karena banyak pengamat yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang asli di Indonesia, terutama di tingkat desa.
Pertanyaannya mengapa ujicoba demokrasi dimulai dari desa?
Jan Breman (1979) mengemukakan bahwa paham yang mengatakan bahwa desa-desa di Jawa yang dikatakan sebagai desa demokratis sesungguhnya konstruksi kolonial. Desa-desa yang dikatakan “asli”, sebelum mendapat sentuhan Kolonial adalah kepanjangan tangan atau bagian dari sistem feudal yang lebih tinggi dalam  tatanan masyarakat Jawa. Hal ini sesuai dengan temuan Wasino (2008) yang
membuktikan bahwa di wilayah pusat kekuasaan Jawa, Surakarta tidak ada pemilihan kepala desa hingga awal kemerdekaan. Desa-desa di wilayah tersebut merupakan desa-desa yang terlambat menerima pengaruh Kolonialisme.
Menurut Schiecke (1929) desa-desa di Jawa bukanlah sebuah rumah tangga tertutup yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Desa-desa itu sesungguhnya bagian dari struktur dualistik dari sistem kerajaan Jawa yang mendasarkan diri pada pembagian wilayah terdiri dari lingkungan keraton dan desa. Kepala desa merupakan penghubung antara petani dengan administrasi kerajaan. Situasi ini berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke -18. Kepala-kepala desa diangkat berdasarkan keturunan, dan yang masih dianggap setia kepada administrasi kerajaan. Sejak abad XIX, Pemerintah Kolonial Belanda secara`resmi berkuasa atas wilayah Jawa. Sejak itu ada pemikiran bagaimana menguasai pemerintahan hingga tingkat desa agar dapat digunakan sebagai pendukung kebijakan-kebijakan Kolonial.
Salah satu caranya adalah memangkas hubungan feodal masyarakat Jawa dengan cara memperkuat institusi desa. Daendels pada tahun 1809 mulai memperkenalkan sebuah sistem pemungutan suara pada tingkat paling bawah. Di Cirebon, yang termasuk dalam wilayah Priangan di desa-desa yang lebih besar diangkat dua orang kepala (
Kuwu atau mantri dan dan prenta atau pretinggi). Sementara itu pada desa-desa yang lebih kecil hanya diangkat seorang parenta atau lurah. Dukuh-dukuh yang kurang dari enam keluarga digabungkan ke desa terdekat dan penduduknya dipaksa pindah ke sana. Tradisi pemilihan kepala desa yang dibuat di Cirebon awal abad XIX
itu berkembang di kebanyakan desa-desa yang dikuasi secara langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda, misalnya di Pati di Jawa Tengah (Husken,1998).
Tradisi pemilihan kepala desa itu yang kini berlanjt dan dikenal sebagai demokrasi desa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokrasi yang menjadi ikon masyarakat desa pada saat ini asal-usulnya adalah sebuah konstruksi Kolonial.
Pada level nasional, awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad ke-20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, “migrasi” para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para “migran politik’ tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi (van Niel,1984).
Pemikiran tentang demokrasi mengelora di sejumlah aktivis pergerakan. Maka terbentuklah organisasi-organisasi yang berhaluan politik untuk menyuarakan suara rakyat di dalam sebuah sistem Kolonial. Suara-suara itu ada yang disalurkan melalui parlemen dan ada yang di di luar parlemen Hindia Belanda yang dikenal sebagai
Volksraad atau Dewan Rakyat. Banyak anggota partai politik yang tidak bersedia duduk dalam parlemen Hindia Belanda itu, seperti para aktivis PNI, ISDV, NIP, dan sebagainya. Mereka dikenal sebagai kaum nasionalis radikal. Akan tetapi banyak juga, yang dikenal sebagai kaum nasionalis moderat yang bersedia duduk di Parlemen untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia dalam lembaga demokrasi
bentukan Belanda itu (Budi Utomo, 1995).
Saya kira perlu dikemukakan secara khusus tentang lembaga yang dinamakan Volsraad ini karena merupakan tempat berlatih demokrasi prosedural pasca Indonesia merdeka. Lemabaga ini d ibentuk sebagai dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).
Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1914 yang mengatur tentang  pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.
Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial.
Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.
Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali  Pemilih”  (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi
mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal. Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:
1. Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih” dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)
2. Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).
3. Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland (Marbun, 1992).
Kebanyakan anggota Volksraad berasal dari dewan-dewan Kota Praja dan keresidenan, dan sebagian lagi diangkat oleh gubernur jenderal. Ketika itu telah terpilih 10 dari 15 orang bumiputra yang dicalonkan. Sutherland menyebutkan bahwa ada empat orang bupati yang menjadi anggota dewan rakyat saat pembentukannya, yaitu: Koesoemo Oetojo, Djajadiningrat, Koesoemojoedo dan Soejono. Sutherland (1983:178).
Dalam perkembangannya, Volksraad mengalami peubahan jumlah anggota.
Pada tahu 1927, lembaga ini terdiri dari seorang ketua yang diangkat oleh raja Belanda dengan anggota 55 orang. Ketika itu anggota dari kalangan bumiputra hanya 25 orang. Pada tahun 1930, Volksraad terdiri dari 1 orang ketua, dan 60 orang anggota. Anggota Volksraad dari kalangan bumiputra sebanyak 30 orang.
Setelah banyak orang Indonesia yang berpengalaman dalam dewan rakyat, maka muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.

C. Demokrasi Parlementer/ Liberal
Setelah Hindia Belanda berada di bawah pendudukan Jepang, lembaga Volksraad dibubarkan. Sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan militer, sehingga demokrasi sama sekali mengalami kemandegan. Kondisi ini baru mengalami perubahan berarti setelah Indonesia merdeka.
Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai
politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru. Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati  dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen)
dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante).
Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di
Indonesia dan diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen). Partaipartai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8), Partai Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, dan Partai Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Permai, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, PRD, ACOMA dan R. Soedjono Prawirosoedarso.
Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan
terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti demokrasi”.
Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya.
Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah “mengubur” demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, “parliamentary democracy is not good for revolution”.
Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960.
Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945

Bersambung ….

Sudahkah tepat Demokrasi yang kita anut-1

A. Pendahuluan

Jika orang berbicara “demokrasi”, maka yang muncul dalam benak kita adalah sebuah sistem politik yang menekankan suara rakyat sebagai penentu kebijakan. Memang, secara asal katanya demokrasi atau “democracy”, berasal dari kata “demos” dan “kratos’, sebuah bahaya Yunani yang berari kekuasaan di tangan rakyat. Harus diakui memang “konsep demokrasi” sesunguhnya berasal dari dunia pemikiran politik Yunani. Dalam karya klasik Yunani yang berjudul Polis, demokrasi mengacu pada konstitusi (sistem pemerintahan) tempat rakyat yang lebih miskin lebih bisa menggunakan kekuasaan untuk membela kepentingan mereka yang acap kali berbeda dengan kepentingan kaum kaya dan kaum bangsawan (Loytard,1996:214).
Dalam impelementasinya di Yunani, demokrasi dalam pengertian sistem pengambilan suara dilakukan secara langsung. Konsep demokrasi yang berkembang dalam alam pemikiran Yuniani itu
kemudian banyak berpengaruh terhadap sistem pemerintahan di Eropa, Amerika, Afrika dan termasuk Indonesia. Demokrasi pada saat ini telah dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang paling baik dibandingkan dengan sistem pemerintahan lain, seperti otokrasi, dan oligarkhi.
Demokrasi sesungguhnya secara konseptual lebih ditekankan pada sumber kekuasaan dibandingkan dengan cara memerintah. Di dunia Barat pada sekitar abad ke -19, ide demokrasi meliputi sistem perwakilam parlemen, hak-hak sipil dan dan politik lain seperti keinginan liberal. Indonesia pada masa itu dibawah sebuah kekuasaan asing yang di negeri induknya menerapkan demokrasi, tetapi di negeri jajahan tidak demikian.
Pada saat ini, Indonesia menerapkan tatanan pemerintahan yang demokratis. Hal ini terbukti adanya Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali untuk meminta suara rakyat dalam menentukan partai politik mana yang dapat memerintah di negeri ini.
Dalam tatanan ini, dapat dikatakan bahwa suara rakyat adalah “Suara Tuhan”, maka para calon wakil rakyat berkampanye sekuat tenaga untuk menjual program, figur, dan “image” agar mendapat dukungan rakyatnya. Harus disadari bahwa tatanan politik masyarakat menuju sebuah tatatan yang demokratis tidak muncul serta merta. Hal itu memerlukan sebuah proses dialog kesejarahan yang panjang. Pertanyaannya adalah sejak kapan tatanan demokrasi itu
dikenal dan diterapkan di “Indonesia”? , bagaimana perkembangannya, dan bagaimana wujudnya. Pertanyaan-pertanyaan itu akan dicoba untuk menjadi bahan pembahasan kita.

Sejak Kemerdekaan Republik Indonesia hingga kini belum ada System Demokrasi yang mampu membuat Rakyat Indonesia dapat menikmatii kemerdekaannya, belum ada yang  benar-benar menyentuh.

 Daftar Perdana Menteri Indonesia

Perdana Menteri Indonesia adalah pimpinan kabinet dalam pemerintahan Republik Indonesia yang pernah ada dari tahun 1947 hingga tahun 1959.

Daftar Perdana Menteri Indonesia

Perdana Menteri Indonesia adalah pimpinan kabinet dalam pemerintahan Republik Indonesia yang pernah ada dari tahun 1947 hingga tahun 1959.

A#

Mulai menjabat

Selesai menjabat

Perdana Menteri

Foto

Partai

1.

14 November 1945

3 Juli 1947

Sutan Sjahrir

clip_image001[4]

PSI [1]

2.

3 Juli 1947

29 Januari 1948

Amir Sjarifoeddin

clip_image002[4]

PSI [1]

3.

29 Januari 1948

16 Januari 1950

Mohammad Hatta [2]

clip_image003[4]

Non partai

4.

16 Januari 1950

5 September 1950

Abdul Halim

clip_image004[4]

Non partai

5.

5 September 1950

26 April 1951

Muhammad Natsir

clip_image005[4]

Masyumi [3]

6.

26 April 1951

1 April 1952

Sukiman Wirjosandjojo

clip_image007[4]

Masyumi [3]

7.

1 April 1952

30 Juli 1953

Wilopo

clip_image008[4]

PNI [4]

8.

30 Juli 1953

11 Agustus 1955

Ali Sastroamidjojo(Periode ke 1)

clip_image009[6]

PNI [4]

9.

11 Agustus 1955

20 Maret 1956

Burhanuddin Harahap

clip_image010[4]

Masyumi [3]

10.

20 Maret 1956

9 April 1957

Ali Sastroamidjojo(Periode ke 2)

clip_image009[7]

PNI [4]

11.

9 April 1957

9 Juli 1959

Djuanda Kartawidjaja

clip_image011[4]

PNI [4]

 

setelah 9 Juli 1959 posisi ini dihapuskan

Bersambung ….

Thursday, January 14, 2010

Beberap yang penting di ingat dengan kepergian Gus Dur

 Wajah Gus Dur Bercahaya

 clip_image004

   Jenazah Gus Dur disemayamkan di ruang tengah, di bawah lampu kristal. Pukul 00.28, Kamis (31/12) sholat jenazah dilakukan secara bergantian.

Terlihat Ali Mochtar Ngabalin, mantan anggota DPR RI ikut mensholatkan Gus Dur di barisan depan. Di belakangnya, terdapat puluhan orang yang ikut sholat.

Ruangan seluas 50m2, terlihat sesak penuh oleh pengunjung. Para pengunjung bergantian masuk. Kawasan Warung Sila, Ciganjur penuh dengan ribuan orang,

Jenazah Gus Dur diletakkan di atas tempat tidur dengan ditutupi kain putih. Bagian wajah ditutupi dengan kain transparan.

Para tamu yang bergantian men-sholatkan jenazah, menyaksikan betapa wajah Gus Dur terlihat bersih dan bercahaya.

Dari kain kerudung transparan, wajah Gus Dur tampak berbeda dari biasanya. Lebih putih dan bersih.

Meski, suasana di rumah itu begitu terasa sedih. Beberapa orang meneteskan airmata.

Di depan pintu, ada mantan asisten pribadi Gus Dur, Al Zastrow. Dia memandu orang-orang untuk sholat jenazah.

Terlihat juga putri pertama Gus Dur, Alissa yang terus menerus didatangi tamu dan bersalaman. Semuanya terlihat memberi dukungan agar keluarga Gus Dur tabah.[im

Hari Wafatnya Gus Dur Angka Ajaib

gus dur

 INILAH.COM, Jakarta - Ini, mungkin bagian dari ekspresi orang untuk memberikan penghormatan pada almarhum Gus Dur. Kemarin, Jumat (1/1) beredar SMS. Isinya tentang hari wafatnya Gus Dur, yang kalau dirangkai akan menjadi ajaib.

SMS itu bertuliskan begini:

Asmaul Husna ada 99. 9 adalah angka yang sangat luar biasa rahasianya. Penuh makna, Masya Allah... Gus Dur wafat jam 18.45 tanggal 30 bulan 12 tahun 09.

Kalau semua diamati, semua angka tersebut jika dikalikan dengan angka itu sendiri, jumlah adalah 9.

18 x 18= 324 = 3 + 2 + 4 = 9

45 x 45= 2025 = 2 + 0 + 2 + 5 = 9

30 x 30= 900 = 9 + 0 + 0 = 9

12 x 12= 144 = 1 + 4 + 4 = 9

18 x 45 x 30 x 12 x 09 = 2624400 = 2 + 6 + 2 + 4 + 4 + 0 + 0 = 18 = 1 + 8 = 9

Ada apa dengan jam 18.45?

Lihat Qs. Al-Kahfi (18):45, ibaratkan air hujan yang turun dari langit dan memberi kesejukan atau perdamaian di bumi. Lalu kembali ke sisi Allah dengan kuasa-Nya.[bar/ims]

Cahaya Gus Dur Seperti Bung Karno

clip_image021

Mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dinilai memiliki kemiripan dengan Presiden RI ke-1 Soekarno. Keduanya, sama-sama memiliki cahaya sufi.

"Wafatnya Gus Dur, mulai dari rumah sakit ke Ciganjur rakyat kecil pada berdiri dipinggir jalan, begitu juga saat tiba di Jombang rakyat kecil berdiri memberi penghormatan. Itukan mengigatkan kita pada Bung Karno

Selain itu, tutur Luqman, Bung Karno dan Gus Dur sama-sama seorang sufi, namun hal tersebut tidak ditampilkan tapi malah disembuyikan. Meski begitu, tetap saja, cahaya sufinya mempengaruhi kehidupan realitasnya.

Luqman juga mengatakan, Gus Dur adalah sosok yang lengkap. Gus Dur adalah seorang tokoh, intelektual, budayawan dan orang yang selalu terlibat dalam memperjuangkan hak asasi. Selain itu Gus Dur juga mengajarkan bagaimana menjadi seorang guru bangsa.

"Guru bangsa yang mendidik dan terlibat langsung. Jadi bukan guru bangsa yang diam saja. Ibarat seorang, ayah Gus Dur akan melindungi dan mendidik anaknya," ujar dia.

Gus Dur wafat pada Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB. Mantan orang nomor satu di Indonesia ini meninggal setelah lima hari dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo, Jakarta. Gus Dur telah dimakamkan di Komplek pemakaman Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur pada Kamis 31 Desember lalu. [win/mu

Tempat Peristirahatan Terakhir Gus Dur

Mantan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur akan dimakamkan di komplek pemakaman keluarga, Tebu Ireng, Jombang. Seperti apakah tempat peristirahatan terakhir Gus Dur.

Tebu Ireng merupakan pesantren atau pusat pembelajaran ilmu agama Islam, yang didirikan oleh Kakek Gus Dur, Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'ari, pada tahun 1899.

Terletak di Jalan Irian Jaya, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Tebu Ireng menjadi salah satu pusat kajian agama Islam terbesar di dunia, juga tempat berdirinya salah satu Organisasi Agama Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU), yang juga didirikan oleh kakek Gus Dur.

Di Tebu Ireng, Hasyim Hasyim Asy'Ari yang menikahi dua istri, Nafiqoh dan Masruroh, melahirkan tiga belas anaknya.

Mereka adalah Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid (ayah Gus Dur), Abdul Hakim (Abdul Kholiq), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurroh, Muhammad Yusuf Abdul Qodir, Fatimah, Chotijah, Muhammad Ya’kub.

Gus Dur merupakan anak dari pernikahan Abdul Wahid Hasyim dengan Solichah. Dia terlahir sebagai anak pertama dari enam bersaudara, pada 7 September 1940 silam.

Meski hanya pada masa kanak-kanaknya saja, dia tumbuh di tanah leluhur keluarganya, Gus Dur dikenal sebagai Kyai dan tokoh besar NU oleh kalangan pesantren pendirian kakeknya itu.

Setelah wafatnya Hasyim Asy'ari pada 7 September 1947, jenazahnya dimakamkan di komplek Pesantren Tebu Ireng.

Letak pemakaman itu berada di tengah komplek asrama pesantren seluas 2,5 hekta are. Akhirnya di makam tersebut dijadikan pemakman keluarga keturunan Hasyim, di mana istri, anak-anak, dan keturunannya, telah disiapkan tempat pemakamannya.

Di pemakaman tersebut telah ditata rapi, sesuai dengan urutan keturunan Hasyim. Diantaranya, makam Hasyim yang bersebelahan dengan istrinya, makam Wahid Hasyim yang juga bersebelahan dengan istrinya, dan juga makam Gus Dur yang tengah disiapkan tepat berhadapan dengan makam kakeknya itu.

Setiap tahunnya, makam keluarga kyai besar sekaligus pahlawan nasional itu tak pernah sepi dari peziarah.

Bahkan dalam ajang pemilihan umum bupati, gubernur, legislatif, sampai presiden, para peserta pemilu tersebut selalu menyempatkan untuk berziarah ke makam Keluarga Hasyim, sekaligus mencari dukungan politik.

Islam sebagai agama yang dipeluk oleh myoritas masyarakat Indonesia, dan Tebu Ireng merupakan tempat berdirinya Organisasi Islam Terbesar NU, tentu memiliki pengaruh yang besar bagi peserta pemilu, yang berusaha mencari dukungan politik.

Masyarakat biasa dan santri-santri Tebu Ireng, juga telah menjadikan ziarah ke makam Keluarga Hasyim, sebagai rutinitasnya. Pengurus pesantren, menetapkan waktu satu kali dalam seminggu untuk mewajibkan bertahlil di makam keluarga tersebut.

Komplek Pesantren Tebu Ireng didirikan memang hanya khusus untuk santri laki-laki. Untuk santri perempuan, didirikan beberapa pesantren kecil juga oleh keluarga keturunan Hasyim, di sekitar Tebu Ireng.

Dalam ajaran Islam diyakini laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki hubungan keluarga tidak bisa dibaurkan.

Luas tanah pesantren dan lembaga pendidikan formal dimilikinya, saat ini telah berkembang pesat. Luas tanah pesantren yang tengah menjadi sebuah yayasan itu, saat ini bertambah luas menjadi sekitar 40 hekta are. Ada pun jumlah santri yang menuntut ilmu di pesantren tersebut berjumlah sekitar 1.500 santri, terdiri dari laki-laki-dan perempuan, dari usia Sekolah Menengah Pertama (SMP)sampai perguruan tinggi.

Yayasan Tebu Ireng selain mengajarkan ilmu agama Islam kepada santrinya, juga mendirikan sejumlah lembaga pendidikan formal. Mulai dari SMP dan SMA A. Wahid Hasyim, Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Salafiyah Syafi'iyyah. [mut]

Tanah Galian Makam Gus Dur 111 Karung

clip_image018

  Jombang - Proses penggalian makam Gus Dur telah usai. Sedikitnya ada 111 karung kecil tanah galian dikeluarkan dari komplek pemakaman umum Ponpes Tebu Ireng, Jombang.

Ratusan sak tanah itu saat ini tengah ditata rapi, berjajar di tepi pagar oleh sejumlah santri Ponpes Tebu Ireng. "Jumlahnya ada 111 sak, tapi tidak selalu penuh," ungkap Rizqi, salah satu santri di Ponpes Tebu Ireng, Kamis (31/12) dini hari.

Setelah lubang makam dianggap selesai, lokasi itupun kini menjadi terbuka. Para santri yang sebelumnya mengerumuni untuk mendapat giliran menggali juga sudah membubarkan diri.

Sementara sejumlah wartawan baik dari media televisi, cetak maupun Online terlihat duduk-duduk di lantai tidak jauh dari makam sambil menunggu perkembangan dari proses pemakaman Gus Dur selanjutnya. [beritajatim.com/mut]

Inilah Perjalanan Hidup Gus Dur  

clip_image016

Alm Abdurrahman Wahid
 

  Selain pernah menjadi Presiden RI, Ketua Umum PBNU, Gus Dur adalah orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar Doktor Kehormatan terbanyak. Sepanjang hidupnya, Gus Dur mendapatkan 10 gelar Doktor kehormatan. Inilah perjalanan hidup Gus Dur.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Nama lengkapnya Abdurrahman Wahid. Gus Dur lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur.

Kakek Gus Dur adalah KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara, kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.

Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny Hj Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.

Gus Dur, pernah secara terbuka pernah menyatakan bahwa dia memiliki darah Tionghoa. Gus Dur bilang bahwa dia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.

Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[5] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

Pada tahun 1944, Abdurrahman Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia.

Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.

Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Sejak muda, Gus Dur juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya.

Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada bulan April 1953, ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikan Gus Dur berlanjut dan pada tahun 1954. Dia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas.

Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Gus Dur

pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo.

Gus Dur mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).

Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara dia melanjutkan pendidikannya sendiri, Gus Dur juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah.

Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah sastra, yaitu majalah Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Setelah itu, Gus Dur belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir.

Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab.

Karena tidak mau menunjukkan kemampuan bahasa Arab, Gus Dur terpaksa mengambil kelas remedial. Gus Dur menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola.

Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut.

Pada akhir tahun, Gus Dur berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa. Dia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas.[bersambung/ims]

Inilah Pesan Terakhir Gus Dur ke Tokoh Katolik

clip_image019

  Menjelang akhir hidupnya, mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid menitipkan pesan pada tokoh Katolik untuk memperlakukan kaum fundamentalis secara lebih bijak.

Hal itu diungkapkan Romo Benny Susetyo, Sekretaris Eksekutif Hubungan Antar Agama KWI di Jakarta, Rabu (30/12) malam, merujuk pada pertemuan antara Ketua Dewan Kepausan untuk Dialog antar Agama Vatikan Kardinal Jean Louis Tauran dengan KH. Abdurrahman Wahid pada November 2009.

"Saat itu Gus Dur berpesan agar kaum fundamentalis jangan dijauhi tetapi harus dicintai," katanya mengutip pesan dari Gus Dur.

Menurut Romo Benny, Gus Dur adalah tokoh besar bagi bangsa Indonesia. Ia sangat memperhatikan isu-isu pluralisme dan mementingkan arti dari kejujuran. Selama hidupnya, Gus Dur dikenal sebagai sosok yang sangat mendedikasikan jiwa dan raganya untuk bangsa Indonesia.

"Menurut saya, hidup Gus Dur semata-mata untuk bangsa dan negara. Beliau meninggalkan kepentingan pribadinya untuk bangsa, orang yang mencintai bangsa dan menyediakan waktu untuk bangsa," kata Romo Benny yang merupakan teman dekat dari almarhum Gus Dur.

Di mata Romo, Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang hangat dan tidak pernah lepas dari guyonan-guyonan yang menyegarkan. Guyonan itulah menjadi ciri khas Gus Dur yang selalu diingat. Lebih lanjut Romo Benny menuturkan, meski didera sakit, Gus Dur masih sempat mengucapkan Selamat Natal kepadanya melalui telepon pada 25 Desember lalu.

"Pada 25 Desember, beliau menghubungi saya untuk mengucapkan Selamat Natal. Saat itu Gus Dur sempat mengeluh karena sakit gigi, tapi tetap saja Gus Dur bilang masih sehat," katanya. [*/mut]

 Menjelang Lengser dari Presiden Keluarkan Dekrit, Gus Dur Menangis

kabinet gusdur

Kejatuhan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid diwarnai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden. Namun siap yang tahu jika pria yang akrab disapa Gus Dur itu menangis saat mengeluarkan Dekrit.

Menurut mantan penasehat politik Gus Dur saat mejadi Presiden, Hermawan Sulistyo kepada INILAH.COM di Jakarta, Sabtu (2/1) mengatakan, sebelum memutuskan dikeluarkan atau tidak dekrit presiden, Gus Dur sempat bercerita. Namun cerita yang disampaikan Gus Dur tidak ada kaitanya tentang dekrit.

"Saat itu saya langsung memotong dan menanyakan kepada Gus Dur, mengeluarkan dekrit atau tidak. Saat itu Gus Dur terguncang sekali, saya melihat Gus Dur menangis disamping Rahmawati, sambil dielus-elus tangannya oleh Rahmawati," ujarnya.

Pria yang akrab disa Kiki ini membantah anggapan yang mengatakan Gus Dur legowo saat dilengserkan. Menurutnya Gus Dur sakit hati telah dilengserkan. "Kalau dia legowo itu bohong. Cara penurunannya itu yang membuat dia (Gus Dur) tidak bisa diterima," pungkasnya.

Dalam pertemuan juga ikut hadir perwakilan dari sekitar 15 LSM. Selain itu, para kyai NU, dan para pendukung Gus Dur mendatangi Istana guna memberikan dukungan. Massa pendukung Gus Dur dari berbagai daerah melakukan aksi di Monas dan depan Istana Merdeka Jakarta.

Dekrit Presiden itu sendiri berbunyi: (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memeroleh dukungan, dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan ketika baru 20 bulan berkuasa. Gus Dur lengser dari kursinya setelah Sidang umum MPR menggelar rapat paripurna. Usai dilengserkan, MPR kemudian melantik Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden kelima. [win/jib]

clip_image005[2] 

Wednesday, January 13, 2010

PARHALAAN

”PARHALAAN” dan FALSAFAH MANUSIA BATAK Atas ALAM

KATA Batak acapkali dialamatkan ke suku yang tinggal di Sumatra Utara. Istilah ini merujuk ke beberapa suku yang lazim disebut Suku Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba (termasuk Binsaran, Silindung, Humbang, Uluan, dan Samosir), serta Angkola-Mandailing. Beberapa menyebutkan bahwa Batak adalah istilah untuk suku yang masih (tidak) memeluk agama Islam. Suku-suku di atas memiliki persamaan dari segi bahasa, sistem kekerabatan, keagamaan, dan kebudayaan. Meskipun demikian, beberapa kajian mendalam akan berhasil mencermati karakter kuat perbedaaan antarsuku. Akibat pengaruh-pengaruh agama yang datang dari luar, semakin langka dan sulit kita temui Agama Batak Asli yang masih dipraktikkan. Kini posisi agama asli itu digantikan dengan agama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Parmalin. Sekarang hanya Suku Batak Toba yang menyebut diri sebagai Batak, sedangkan suku-suku lain menyebut dirinya sesuai dengan nama suku seperti tertulis di atas.

Kalender Batak yang dibahas ini di dapatkan di Pulau Samosir pada 1995 silam. Akan tetapi, bukan berarti di daerah lain sekitar Sumatera Utara kalender tidak bisa ditemui. Ini disebabkan kalender ini (yang beragam bentuknya) telah menjadi bagian dari industri kerajinan di Sumatra Utara secara umum sebagai sebuah suvenir untuk turis. Bentuk kalender ini dibandingkan kalender lain lebih sederhana, namun memiliki keunikan tersendiri, terutama penahan ruas bambu pada kalender ini terbuat dari tulang iga babi.

Tulang babi tersebut memiliki dua sisi, pada pertama sisi tertoreh aksara dan simbol lingkaran, seperti simbol matahari. Sisi kedua tertoreh simbol binatang berekor, bergerigi, bercapit. Binatang itu adalah bentuk sederhana kalajengking (hala). Meski dijual sebagai suvenir, bentuk dan citraan kalender ini tidak mengurangi representasi kultur Batak sebagai sesuatu yang banal. Dengan kata lain, "aura" etnik Batak atau "aura artefak primitivisme" etnik Batak masih bisa kita rasakan.

Seloroh seorang teman, "kualitas primitif" pada kalender tersebut masih terasa kental.

Meski demikian, kalender/penanggalan Batak tidaklah semata artefak fisik budaya karena ia lebih sebuah refleksi pengetahuan untuk penyelenggaraan kebudayaan Batak. Berbeda dengan ulos, rumah adat, kuburan tua Batak, kalender atau penanggalan ini adalah manifestasi kesadaran orang Batak terhadap fenomena alam, perbintangan, gerak matahari, perjalanan bulan yang mengelilingi bumi. Kalender Batak dengan demikian merupakan salah satu ilmu di antara ilmu, seperti Tamba tua, Dorma, Porpangiron, Porsili, pamapai ulu-ulu, yang dihasilkan orang Batak, terutama untuk melangsungkan budaya dan kepercayaannya. Keseluruhan ilmu yang dihasilkan orang Batak sering diistilahkan sebagai pustaha (buku kulit kayu) yang berisikan pegangan bagi para datuk atau guru, yaitu para ahli ilmu gaib (dukun?). Penanggalan Batak adalah bagian dari isi pustaha. Adapun pustaha Batak berisikan antara lain 3 bagian besar ilmu: ilmu yang menyambung hidup, Ilmu yang menghancurkan hidup, dan ilmu nujum.

Dengan ukuran yang bervariasi, kalender Batak atau porhalaan biasanya terdiri dari 12 ruas bambu yang juga berarti 12 bulan dan setiap ruas memuat masing-masing 30 hari. Namun, ada juga porhalaan yang terdiri atas 13 ruas. Ruas bambu pertama terletak dipinggir kanan dan ruas bambu ke-dua belas terletak di pinggir kiri. Hal ini dapat lihat dari torehan angka urut 1-12 dari kiri ke kanan. Pada prinsipnya, kalender tersebut tidak pernah dipakai untuk penanggalan melainkan ditujukan untuk meramal hari baik yang disebut panjujuron ari.

Karena porhalaan didasarkan pengitaran bulan mengelilingi bumi, satu tahun terdiri atas 12 bulan, masing-masing 30 hari sehingga keseluruhan hari berjumlah 360 hari.

Pada diagram porhalaan yang tertoreh di atas permukaan ruas bambu, tampak 12 atau 13 bulan dengan masing-masing batasan hari dengan garis melintang dan membujur. Selain itu, tampak pula beberapa garis sudut menyudut yang masing-masing berpangkal pada hari ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 di bulan purnama. Pada bulan kedua, hari yang kena garis diagonal tersebut adalah hari ke-6, ke-13, dan seterusnya. Hari-hari ini dikenal sebagai ari na pitu -- hari-hari yang ketujuh yang harus dihindarkan jika ingin memulai suatu pekerjaaan yang baru. Selain ari na pitu tersebut, terdapat gambar kalajengking (hala) yang telah tersebut di atas. Pada hari yang ditempati kepala, badan, atau ekor menandakan tidak diperbolehkannya upacara apa pun dilakukan. Hari-hari yang lain ditandai dengan bermacam-macam lambang yang tidak selalu seragam. Hari yang baik biasanya ditandai dengan sebuah titik yang melambangkan butir padi, sedangkan hari yang tidak menentu ditandai dengan tanda silang. Hari-hari yang lain biasanya kurang menguntungkan. Beberapa hari juga ditandai dengan huruf.

Pada porhalaan Batak, hari yang ditandai /ha/, /na/, /ta/, dan /o/ adalah hari baik, huruf /ra/ menandai hari yang dapat diragukan, sedangkan huruf /pa/, /sa/, /la/, /nga/, /ngu/, /hu/, dan /ba/ menandai hari yang buruk. Catatan: tulisan ini memang tidak menyediakan tabel aksara Batak mengingat panjangnya aksara tersebut jika dituliskan.

Banyak kegiatan yang mengandalkan porhalaan seperti menentukan saat persemaian, waktu panen, hari perkawinan, mendirikan rumah, atau memasuki rumah baru, mengadakan perjalanan, berperang, dll.
"Porhalaan" dan falsafah gaib Batak

Dengan membaca porhalaan, setidaknya kita temui prinsip Batak yang disebut Dalihan Natolu yang secara bahasa berarti 'satuan tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu'. Pada zamannya, masyarakat Batak punya kebiasaan memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.

Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam praktiknya, kalau memasak di atas dalihan natolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk menyejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut sihal-sihal. Jika letaknya sudah tepat, memasak bisa dilakukan.

Masyarakat Batak mengenal umpasa: "Ompunta naparjolo martungkot salagunde. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi", Umpasa (pantun, puisi, aforisme?) itu sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak. Di sisi lain, masyarakat Batak juga mengenal umpama (pepatah). Beda umpasa dan umpama bisa disarikan sebagai berikut:

- umpama dan umpasa sering punya sampiran
- umpama dan umpasa dapat dibedakan berdasarkan isi
- umpama dapat dikatakan bersifat "statis", sedangkan umpasa bersifat "dinamis"
- umpama merupakan kiasan (dari berbagai umpama sebagai besar menggunakan kata songon, artinya: seperti, ibarat, dan istilah lain yang sejenis.
- di antara sebagian umpasa berisi puisi yang memiliki makna yang dalam.
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang lestari dalam tatanan adat sejak seseorang lahir sampai meninggal dunia.

Kembali ke porhalaan, telah tertulis di atas bahwa porhalaan merepresentasikan cara pandang "pembagian tiga", yakni hari baik, hari buruk, dan wilayah antara yaitu hari yang ragu. Cara pandang trikotomis (dalihan natolu) pada gilirannya merupakan refleksi sistem kepercayaan/falsafah Batak terhadap alam kosmis. Karena porhalaan merupakan pijakan penting untuk menentukan berbagai acara adat, dengan sendirinya termaktub pula sistem-sistem kepercayaan lain sehubungan dengan kaitan antara laki-laki-wanita, dominasi gender, keutamaan hierarki. Di saat bersamaan menggandeng pula wacana keharmonisan yang terletak di antara cara pandang dualistik.

Meski di masa sekarang porhalaan jarang dipergunakan, sebagai refleksi astronomi masyarakat Batak, pengetahuan untuk memahami dunia luar dengan dunia dalam atau dunia atas dengan dunia bawah adalah kekayaan khazanah ilmu pengetahuan lokal yang penting. Tidak saja untuk kepentingan analisis ontologis, tetapi terkait pula dengan episteme masyarakat Batak. Mungkin perlu dicatat bahwa kelompok Batak yang masih menggunakan kalender ini adalah kelompok Parmalim. Parmalim adalah aliran kepercayaan yang berdasar pada agama leluhur Batak.

Jika kebudayaan Indonesia secara umum adalah "kebudayaan muda", perlu penelitian lebih lanjut kaitan-kaitan porhalaan ini dengan numerologi (peramalan berdasarkan angka-angka yang dikaitkan dengan alfabet). Seperti juga astrologi (ramalan berdasarkan bintang-bintang tertentu), numerologi berkembang di Sumeria, ke Mesir, ke Babilonia, lalu ke Persia yang terkait dengan penyembahan roh-roh halus, sihir, tenung, teluh. Kaitan ini bisa mungkin mengingat ajaran Zoroaster ( cabang kepercayaan Qabala yang menyebar ke Persia) yang praktiknya menekankan pada sihir, ramalan-ramalan, dan penyembahan kepada Iblis. Kaum inilah lalu menyembah matahari sebagai perlambang Lucifer. - Oleh AMINUDIN T.H. SIREGAR

Sumber

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1203/18/khazanah/lainnya01.htm

Friday, January 1, 2010

Gus Dur Meninggal, Inilah Profil dan Otobiografinya

 

2009 Desember 30

 

Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dengan dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional.
"profil gus dur"
Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid yang dimulai pada 20 Oktober 1999, dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

BAPAK BANGSA, BAPAK PLURALISME

Nama: Abdurrahman Wahid
Lahir : Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940.
Karir :
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Penghargaan :
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September 1940.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid meninggal dunia. Gus Dur meninggal dunia di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Meninggal dunia saat dijenguk Presiden SBY,” kata Sekretaris Pribadi Gus Dur, Sulaiman, saat dihubungi VIVAnews, Rabu 30 Desember 2009.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiba di RSCM sekitar pukul 18.00 WIB. Setelah sekitar satu jam berada di dalam ruangan tempat Gus Dur dirawat, SBY keluar. Tidak ada komentar dari Presiden saat keluar dari ruangan.

Informasi Gus Dur telah meninggal justru datang dari asisten pribadinya, Sulaiman. Menurutnya, Gus Dur telah wafat pukul 18.45 WIB.

Sebelumnya Gus Dur dirawat di RSCM sejak Sabtu pekan lalu. Gus Dur sempat dirawat di Jombang dan meninggal dunia di RS Cipto Mangunkusumo. (Viva News)

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
" Gus dur dalam kenangan"
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
" gus dur dalam kenangan"
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada disana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.

Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo.
Gus dur dan sby
Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.

Doktor kehormatan
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan:
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari – Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
- Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)

Dia akrab disapa Gus Dur, Sang Bapak Bangsa yang sering melontarkan pendapat kontroversial. Bahkan ketika menjabat Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya.

Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.

Kabinet Dan Kabinetnya di depan Istana Merdeka

Kabinet Dan Kabinetnya di depan Istana Merdeka

Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945.

Pendapatnya seringkali terlihat tanpa interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.

Belum satu bulan menjabat presiden, mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (1984-1999) ini sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
" gus dur"Tak lama kemudian, ia pun menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang dibenci banyak orang di Indonesia. Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari beberapa komponen Islam.
Berselang beberapa waktu, ia pun memecat beberapa anggota Kabinet Persatuan-nya, termasuk Hamzah Haz (Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan). Berbagai kebijakan dan pemecatan ini membuatnya semakin nyata jauh dari konspirasi kepentingan politik yang memungkinkan-nya terpilih menjadi presiden.

Ketika itu, pada Sidang Umum MPR 1999, Poros Tengah yang gagal menggolkan salah seorang tokohnya sendiri menjadi presiden (BJ Habibie, Amien Rais, Hamzah Haz dan Yusril Ihza Mahendra), merangkul Gus Dur untuk dapat mengalahkan Megawati Sukarno-putri.

Gus Dur, yang terkenal piawai dalam berpolitik, dengan cekatan menangkap peluang ini. Sehingga Megawati yang partainya memenangkan Pemilu akhirnya hanya mendapatkan kursi wapres. Terpilihnya Gus Dur ini, sekali lagi telah menunjukkan sosok kontroversial. Kontroversi dalam kelayakan politik demokrasi. Kontroversi mengenai kondisi pisik Gus Dur sendiri. Namun harus diakui, itulah Gus Dur, dengan kepiawian dan keunggulannya yang melebihi kapasitas banyak orang! Kalau bukan Gus Dur, hal itu sangat mustahil terjadi.

Padahal tak heran bila pada mulanya ia dianggap hanya sebagai umpan oleh sebuah konspirasi kepentingan politik. Sebab dari perolehan suara PKB dan kondisi kesehatan, Gus Dur dianggap sangat mustahil bisa menjadi presiden. Namun, dengan kepiawian Gus Dur memainkan bola yang digulirkan Poros Tengah (ketika itu merupakan koalisi partai-partai berbasis Islam minus PKB) bergandeng tangan dengan Golkar, SU-MPR menolak pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie. Hal ini secara etis memaksa BJ Habibie mengundurkan diri dari pencalonan presiden pada detik-detik terakhir.

Malam setelah penolakan pertanggungjawaban Habibie dan sebelum pagi hari pemilihan presiden, tokoh-tokoh Golkar dan Poros Tengah mengadakan pertemuan di kediaman Habibie. Mereka mencari pengganti BJ Habibie. Alternatif pertama, Akbar Tanjung selaku Ketua Umum Golkar. Kelompok Iramasuka yang dimotori AA Bramuli menolak. Lalu muncul nama Hamzah Haz, Ketua Umum PPP. Dinilai tidak kuat melawan Megawati. Terakhir, menjelang subuh muncul nama Amien Rais, Ketua Umum PAN.

Diperkirakan Amien dapat memenangkan suara, bercermin dari perolehan suara pada pemilihan Ketua MPR yang dimenangkan Amien Rais. Saat itu Gus Dur (memainkan trik politik) mendukung Amien Rais bersaing dengan Matori Abdul Djalil (Ketua Umum PKB) yang didukung PDIP. Akhirnya, dalam pertemuan di rumah BJ Habibie itu, nama Amien Rais disepakati menjadi calon presiden, dengan catatan Amien akan lebih dulu mengonfirmasikannya dengan Gus Dur.

Namun, sebelum konfirmasi itu dilakukan, PKB atas anjuran para kyai dan persetujuan Gus Dur telah lebih dulu secara resmi mendaftarkan pencalonan Gus Dur. Pencalonan secara resmi Gus Dur ini mengejutkan Poros Tengah (yang sering kali menyebut akan mencalonkan Gus Dur). Juga mengejutkan Golkar dan PDIP bahkan PKB sendiri. Sekali lagi, Gus Dur menunjukkan kepiawiannya yang kontroversial dan mengejutkan.

Peta politik berobah secara mengejutkan. Pencalonan Amien Rais diurungkan. Lalu muncul nama Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB) dari kubu Poros Tengah resmi mencalonkan diri bersaing dengan Gus Dur dan Megawati. Munculnya nama Yusril membuat kubu Megawati sempat lebih optimis akan memenangkan pemilihan. Tapi, kemudian pencalonan Yusril dicabut setelah bertemu dengan Gus Dur. Sekali lagi Gus Dur menunjukkan kelasnya dalam berpolitik.

Gus Dur dari partai kecil (11%), mengalahkan Megawati dari partai pemenang Pemilu (35%). Komposisi keanggotaan MPR hasil Pemilu 1999 yang lebih 90 persen laki-Iaki itu, rupa-rupanya enggan memberikan suaranya kepada Gus Dur, antara lain karena alasan gender. Seorang pengamat politik LlPI menyebutnya sebagai kecelakaan sejarah. Bahkan Gus Dur sendiri pun rupanya merasa kaget dan heran dengan mengata-kan: “Orang buta kok dipilih menjadi Presiden”.

Suasana di luar sidang memanas. Sebab MPR dinilai telah mengesampingkan suara rakyat yang tercermin dalam Pemilu. Namun, dalam kondisi ini, Gus Dur, sekali lagi, menunjukkan kehebatannya. Ia punya kiat yang jitu. Ia merangkul Megawati. PKB secara resmi mencalonkan Megawati dalam perebutan kursi Wakil Presiden, bersaing dengan Hamzah Haz yang didukung Poros Tengah. Megawati pun menang.

Saat itu, tampaknya Gus Dur sangat menyadari kelemahannya. Dalam sambutan pertama beberapa saat setelah ia memenangkan pemilihan presiden, ia mengucapkan terimakasih kepada Megawati dan PDIP yang tidak mempermasalahkan faktor kesehatan pisiknya.
Pada awalnya banyak orang optimis bahwa duet Gus Dur-Megawati, yang sejak lama sudah ‘bersaudara’, akan langgeng dan kuat. Apalagi ditopang dengan susunan Kabinet Persatuan yang mengakomodir hampir semua kekuatan politik dan kepiawian Gus Dur dalam berpolitik.
" gus dur"Namun seperti kata pepatah: Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh ke tanah jua. Di mata banyak orang, kepercayaan diri Gus Dur tampak terlalu berlebihan. Ia sering kali melontarkan pendapat dan mengambil kebijakan yang kontroversial. Penglihatannya yang semakin buruk mungkin juga dimanfaatkan oleh para pembisik di sekitarnya. Gus Dur pun sering kali mengganti anggota kabinetnya dengan semaunya berpayung hak prerogatif. Tindakan penggantian menteri ini berpuncak pada penggantian Laksamana Sukardi (PDIP-pemenang Pemilu 1999) dari Jabatan Meneg BUMN dan Jusuf Kalla (Golkar-pemenang kedua Pemilu 1999) dari jabatan Menperindag, tanpa sepengetahuan Wapres Megawati dan Ketua DPR Akbar Tandjung.

DPR menginterplasi Gus Dur. Mempertanyakan alasan pemecatan Laksamana dan Jusuf Kalla yang dituding Gus Dur melakukan KKN. Tudingan yang tidak dibuktikan Gus Dur sampai akhir.

Sejak saat itu, Megawati mulai dengan jelas mengambil jarak dari Gus Dur. Dukungan politik dari legislatif kepada Gus Dur menjadi sangat rendah. Di sini Gus Dur tampaknya alpa bahwa dalam sebuah negara demokrasi tidak mungkin ada seorang presiden (eksekutif) dapat memimpin tanpa dukungan politik (yang terwakili dalam legislatif dan partai).

Anehnya, setelah itu Gus Dur justru semakin lantang menyatakan diri mendapat dukungan rakyat. Sementara sebagian besar wakil rakyat di DPR dan MPR semakin menunjukkan sikap berbeda, tidak lagi mendukung Gus Dur.

"foto muda gus dur"Lalu terkuaklah kasus Buloggate dan Bruneigate. Gus Dur diduga terlibat. Kasus ini membuahkan memorandum DPR. Setelah Memorandum II tak digubris Gus Dur, akhirnya DPR meminta MPR agar menggelar Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden.

Gus Dur melakukan perlawanan, tindakan DPR dan MPR itu dianggapnya melanggar UUD. Ia menolak penyelenggaraan SI-MPR dan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR. Tapi Dekrit Gus Dur ini tidak mendapat dukungan. Hanya kekuatan PKB dan PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa) yang memberi dukungan. Bahkan, karena dekrit itu, MPR mempercepat penyelenggaraan SI pada 23 Juli 2001. Gus Dur, akhirnya kehilangan jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan pertanggung-jawaban dalam SI MPR itu. Dan Wapres Megawati, diangkat menjadi presiden pada 24 Juli 2001.

Selepas SI-MPR, Gus Dur selaku Ketua Dewan Syuro PKB memecat pula Matori Abdul Djalil dari jabatan Ketua Umum PKB. Tindakan ini kemudian direspon Matori dengan menggelar Muktamar PKB yang melahirkan munculnya dua kepengurusan PKB, yang kemudian populer disebut PKB Batu Tulis (pimpinan Matori) dan PKB Kuningan (pimpinan Gus Dur-Alwi Sihab). Kepengurusan kembar PKB ini harus berlanjut ke pengadilan kendati upaya rujuk juga terus berlangsung.

Bapak Bangsa
Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden.

Sebelumnya, Gus Dur adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.

Gus Dur sering berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.

Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya diyakini rekan-rekan dekatnya sebagai melebihi kepentingan organisasi tersebut, bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
Di masa Orba, saat Soeharto amat berkuasa, Gus Dur, dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin untuk dikuasai. Bahkan Gus Dur dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan mengajak Mbak Tutut berkeliling mengunjungi pondok-pondok pesantren. Gus Dur juga beberapa kali menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto setelah lengser.

Gus Dur dilahirkan 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, keluarga Muslim berpengaruh di Indonesia. Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah mantan Menteri Agama pada 1945. Kakeknya, Hasyim Ashari, adalah satu dari pemimpin Muslim terbesar pada pergantian abad 2000 lalu. Gus Dur mengikuti tradisi keluarga dengan belajar di banyak pesantren. Nama Gus Dur diambil dari tradisi di daerahnya, dimana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan ‘Gus’.

Ia juga sempat mempelajari sastra dan ilmu sosial di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak. Hari-hari kuliahnya bersamaan dengan timbulnya kekuasaan partai Baath, partai sosialisnya Saddam Hussein, yang menarik banyak pengikut. Dengan latarbelakang ini, ia juga sempat digosipkan sebagai ‘sosok berbau kiri’ pada masa Orba.

Dari Baghdad, ia kembali ke Indonesia 1974 dan mulai berkarir sebagai ‘cendekiawan’ dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an, suami dari Sinta Nuriyah, ini sudah berhasil mengukuhkan diri sebagai satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang paling terkenal dan laris pula sebagai pembicara publik.
Nama Gus Dur makin mencuat setelah terpilih sebagai ketua umum PBNU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Saat itu hubungan NU dengan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam perjalanan selanjutnya, Gus Dur tak selalu berkompromi dengan pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibie mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi.
"gus dur muda"Gus Dur pun tergolong rajin melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritikan itu lama-lama menyebabkan Pak Harto risih. Puncaknya terjadi pada Mukhtamar NU di Cipasung 1994. Pemerintah berupaya menjegal Gus Dur. Tapi Gus Dur tetap terpilih untuk periode kedua. Hal ini terekspresikan dari ketidaksudian Presiden Soeharto menerima Gus Dur dan pengurus PBNU lainnya.

Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Kendati, pada tahun 1999, ia pula yang membawa NU kembali ke dunia politik meski dalam format yang berbeda karena dilakukan melalui pembentukkan PKB, partai yang selalu dirujuk sebagai ‘anak kandung’ NU.

Ia juga dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

Pada awal 1998 ia terserang stroke. Tapi tim dokter berhasil menyelamatkannya. Namun, sebagai akibatnya penglihatannya kian memburuk. Pada saat ia dilantik sebagai presiden, ia sudah dideskripsikan media massa Barat sebagai ‘nyaris buta.’ Selain karena stroke, diduga problem kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat di antara orangtuanya.

Ia juga pengamat sepakbola yang tajam daya analisisnya. Bahkan, setelah penglihatannya benar-benar terganggu, pada Piala Dunia Juni 2002 lalu, ia masih juga antusias memberi komentar mengenai proyeksi juara.

"gus dur meninggal"Selain menjadi idola bagi banyak orang, Gus Dur juga menjadi idola bagi keempat puterinya: Alisa Qortrunnada Munawarah (Lisa), Zannuba Arifah (Venny), Anisa Hayatunufus (Nufus) dan Inayah Wulandari (Ina). Hal ini tercermin dari pengakuan puteri sulungnya Lisa. Lisa bilang, sosok tokoh LSM Gus Dur menurun padanya, bakat kolumnis menurun ke Venny, kesastrawanannya pada Nufus dan sifat egaliternya pada Ina.

Calon Presiden
Ketua Dewan Suryo PKB ini, dicalonkan PKB menjadi Capres berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim sebagai Cawapres Pemilu Presiden 2004.

Namun pasangan ini tidak diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) akibat Gus Dur dinilai tidak memenuhi persyaratan kemampuan rohani dan jasmani untuk melaksanakan kewajiban sebagai presiden, sesuai dengan pemeriksaan kesehatan tim Ikatan Dokter Indonesia. Akibat penolakan KPU (22/5/2004) ini, Gus Dur melakukan berbagai upaya hukum, antara lain menggugat KPU secara pidana dan perdata ke pengadilan dengan menuntut ganti rugi Rp 1 trilyun, melaporkan ke Panwaslu, setelah sebelumnya melakukan judicial review ke MA dan MK. Ia pun berketetapan akan berada di luar sistem jika upaya pencalonannya tidak berhasil.

Namanya masuk dalam nominasi calon presiden Pemilu 2004, sebagai satu-satunya Capres dari PKB. Disebut-sebut bahwa ia masih mendapat dukungan dari para kyai. Dia sendiri membenarkan hal ini dalam beberapa kali pernyataannya.

Namun beberapa politisi dan pengamat politik berharap, Gus Dur bisa mengoptimalkan perannya sebagai salah seorang ‘bapak bangsa’.

Dengan tidak mencalonkan diri sebagai presiden, dia sebagai ‘bapak bangsa’ plus sebagai pemegang kendali (paling berpengaruh) di PKB, dapat memberi pengaruh signifikan dalam perjalanan demokrasi di negeri ini. Kiat-kiat politiknya yang sering kali tak terduga, diperkirakan akan sangat berpengaruh pada pentas politik nasional. (Wikipedia, Life, Tokoh Indonesia)

“Selamat Jalan Gus Dur”