
 
Ada tanda tanya yang menggelantung hampir pada setiap aspek Gerakan 30 
September. Mengapa sebuah gerakan yang menyata- kan diri kepada umum 
pada 1 Oktober menamai dirinya dengan tanggal hari sebelumnya? Mengapa 
sebuah gerakan yang menyatakan diri sebagai murni tindakan intern 
Angkatan Darat juga memutuskan men- demisionerkan kabinet Presiden 
Sukarno dan membentuk pemerintahan baru atas dasar “dewan revolusi”? 
Mengapa sebuah gerakan yang menya- takan diri sebagai usaha untuk 
mencegah kup terhadap Presiden Sukarno tidak tegas-tegas menyatakan 
bahwa ia akan tetap menjadi presiden di dalam pemerintahan yang baru 
ini? Mengapa sebuah gerakan yang ingin mengganti pemerintah tidak 
menggelar pasukan untuk menguasai ibu kota sesuai dengan prosedur klasik
 dalam kudeta? Mengapa gerakan ini tidak menculik Mayor Jenderal Suharto
 atau bersiap untuk mengha- dapi pasukan-pasukan yang ada di bawah 
komandonya? Gerakan 30 September tampak sebagai kemelut yang kusut tanpa
 kepaduan. Bertahun-tahun banyak orang berusaha mencerna apa kiranya 
logika pokok dari G-30-S. Orang harus berpikir bahwa para pelakunya 
bukanlah orang-orang yang menderita schizofrenia, tolol, atau berkecen- 
derungan bunuh diri. Mereka pasti mempunyai tujuan-tujuan tertentu di 
dalam benak mereka dan tentu juga telah merancang tindakan dan 
pernyataan mereka sebagai sarana yang cukup efektif untuk mencapai 
tujuan-tujuan itu. Bisa saja mereka salah membaca situasi politik dan 
salah menghitung kemampuan mereka sendiri, tapi tentu mereka tidak akan 
melangkah maju dengan G-30-S tanpa ada rencana yang masuk akal bagi 
mereka. 
Ada empat pendekatan pokok untuk mengurai keganjilan-kegan- jilan G-30-S
 dan menetapkan semacam koherensi terhadapnya. Menurut penjelasan pihak 
militer Indonesia, sejak hari-hari pertama Oktober sampai sekarang, 
G-30-S merupakan siasat PKI sebagai sebuah institusi untuk merebut 
kekuasaan negara. Gerakan ini bukan sekadar sebuah pemberontakan atau 
kup, tapi awalan revolusi sosial secara menyelu- ruh untuk melawan semua
 kekuatan nonkomunis. Dua ilmuwan dari Cornell University, Anderson dan 
McVey, dalam analisis mereka pada Januari 1966, mengemukakan pembacaan 
alternatif terhadap G-30-S. Mereka menggarisbawahi pernyataan G-30-S 
sendiri, yaitu sebagai putsch intern Angkatan Darat yang dilakukan oleh 
perwira-perwira bawahan. Pendekatan ketiga, yang dikemukakan ilmuwan 
politik Harold Crouch, bermaksud membuktikan bahwa pada hakikatnya 
G-30-S merupakan kegiatan para perwira yang tidak puas tapi PKI juga 
memainkan peran pendukung yang kuat. Pendekatan keempat dipelopori 
seorang sosiolog Belanda, W.F. Wertheim, mengemukakan hipotesis bahwa 
Suharto dan para jenderal Angkatan Darat antikomunis mengorganisasikan 
G-30-S melalui agen ganda (khususnya Sjam) agar dapat menciptakan dalih 
untuk menyerang PKI dan menggulingkan Sukarno. Izinkanlah saya mengurai-
 kan keempat pendekatan tersebut secara rinci satu demi satu.1 
G-30-S SEBAGAI USAHA KUDETA PKI 
Dalam memoarnya Suharto menyatakan sudah menduga PKI mendalangi G-30-S 
ketika mendengar pengumuman radio yang pertama pada pagi hari 1 Oktober,
 “Deg, saya segera mendapatkan firasat. Lagi pula saya tahu siapa itu 
Letkol. Untung. Saya ingat, dia seorang yang dekat, rapat dengan PKI, 
malahan pernah jadi anak didik tokoh PKI, Alimin.”2 
Asisten Suharto untuk urusan intelijen di Kostrad, Yoga Sugama, dalam 
memoarnya (yang ditulis dalam gaya orang ketiga oleh para penulis yang 
ia sewa) menyatakan yakin G-30-S itu dipimpin oleh PKI bahkan sebelum 
Suharto berpikiran demikian, “Yoga adalah orang pertama di Kostrad yang 
memastikan bahwa penculikan para Jenderal Angkatan Darat di penghujung 
bulan September 1965 [sic], dilakukan oleh anasir- anasir PKI. Beberapa 
perwira tampak ragu-ragu dengan kesimpulan- nya itu karena pada pagi 
hari 1 Oktober belum diperoleh bukti-bukti yang mendukung kesimpulan 
tersebut.” Konon Sugama mengatakan kepada mereka yang meragukannya itu, 
“Ini mesti perbuatan PKI. Kita tinggal mencari bukti-buktinya.” Sugama 
menyombongkan diri sebagai orang pertama yang meyakinkan Suharto bahwa 
PKI bersalah sehingga mengubah firasat Suharto menjadi keyakinan yang 
tidak tergoyahkan.3 
Penuturan Sugama itu memberi kesan bahwa jenderal-jenderal Kostrad sudah
 menengarai sang dalang sebelum mendapatkan satu pun bukti yang pasti. 
Kesimpulan sudah datang sebelum pembuktian. 
Suharto tidak serta-merta menuduh PKI sebagai pihak yang ber- tanggung 
jawab terhadap G-30-S. Adalah para perwira bawahannya yang memobilisasi 
sejumlah pimpinan politik anti-PKI untuk melancarkan tuduhan. Hanya satu
 hari sesudah G-30-S meletus, seorang jenderal antikomunis, Brigadir 
Jenderal Sucipto, membentuk organisasi yang dibuat tampak seperti 
organisasi sipil dengan nama Kesatuan Aksi Peng- ganyangan Gerakan 30 
September (KAP Gestapu). Sesudah mengadakan rapat tertutup para pimpinan
 kelompok ini menyelenggarakan konpe- rensi pers pada 4 Oktober. Yang 
terlibat di dalamnya adalah orang-orang semacam Subchan Z.E. dari 
Nahdlatul Ulama, yang sejak lama bekerja sama dengan para perwira 
Angkatan Darat yang anti-PKI.4  Dengan adanya kerja sama sebelumnya, 
mereka mampu dengan cepat mengor- ganisasikan diri. 
Pada  Hari  Angkatan  Bersenjata  5  Oktober,  Angkatan  Darat bukannya 
menyelenggarakan parade militer sebagaimana yang sudah dijadwalkan, 
dengan barisan demi barisan pasukan berderap memamerkan persenjataan 
mutakhir, melainkan mengadakan prosesi pemakaman besar-besaran untuk 
tujuh perwira yang terbunuh. Pada hari itu juga Angkatan Darat 
menyiarkan buku setebal 130 halaman yang disusun cepat, berisi catatan 
tentang rangkaian kejadian-kejadian pada 1 Oktober dan menuduh PKI 
sebagai dalang di balik peristiwa itu.5  Rupanya 5 
Oktober menjadi hari ketika pimpinan Angkatan Darat memutuskan untuk 
memulai serangan terhadap PKI. Menurut warta CIA yang dikirim dari 
Jakarta, pada hari itu jenderal-jenderal tertinggi Angkatan Darat 
bersidang dan bersepakat untuk “melaksanakan rencana meng- ganyang 
PKI.”6 Di bawah arahan Suharto dengan cepat Angkatan Darat mengerahkan 
massa sipil dan menyebarkan propaganda anti-PKI melalui pers (yang 
seluruhnya sudah di bawah kendali Angkatan Darat sejak akhir pekan 
pertama Oktober). Sebuah kisah sensasional melukiskan bagaimana anggota 
PKI menyiksa, menyayat-nyayat, dan memotong kemaluan para jenderal 
tawanan mereka. Ketika koran-koran dan stasiun radio mulai melansir 
cerita-cerita mengerikan tentang PKI, massa yang digalang tentara 
bergerak dengan amuk yang mematikan. Pada 8 Oktober mereka membakar 
habis gedung CC-PKI di Jakarta dan menyerang kantor-kantor tiap 
organisasi yang dianggap terkait dengan PKI. Rumah para pimpinan PKI di 
Jakarta dibakar atau disita.7 
Bahkan pada kemuncak penindasan kejam pada akhir 1965 dan awal 1966, 
masyarakat belum memperoleh bukti bahwa PKI mendalangi G-30-S. 
Masyarakat tidak mempunyai alasan mendesak untuk tidak mempercayai 
pernyataan Untung bahwa “Gerakan 30 September adalah gerakan semata-mata
 dalam tubuh Angkatan Darat” atau pernyataan Politbiro CC-PKI pada 6 
Oktober yang menegaskan bahwa “PKI tidak tahu menahu tentang G-30-S dan 
peristiwa itu adalah intern AD.”8 
Memang benar, Untung agaknya tak mungkin menjadi pimpinan suatu 
intervensi ambisius dalam politik nasional serupa G-30-S. Ia mempunyai 
reputasi sebagai seorang prajurit yang berani dan sederhana, bukan 
pengatur siasat yang lihai dan cukup percaya diri untuk mengorganisa- 
sikan aksi semacam itu. Tabiat Untung yang demikian memberi kesan bahwa 
ada kekuatan-kekuatan lain yang terlibat di dalam G-30-S, lebih dari 
prajurit-prajurit patriotik yang tidak suka kepada perwira-perwira 
atasan mereka. Tapi purbasangka demikian tidak cukup untuk menarik 
kesimpulan bahwa PKI merupakan pembantu terselubung di belakang Untung. 
PKI jelas mendukung G-30-S, sebagaimana ternyata dalam editorial Harian 
Rakjat pada 2 Oktober, yang memuji G-30-S sebagai patriotik dan 
revolusioner. Tapi editorial itu tidak memberikan bukti bahwa PKI- lah 
yang memimpin G-30-S, terutama karena editorial itu menyatakan bahwa 
G-30-S merupakan “persoalan intern Angkatan Darat.” Demikian juga 
keikutsertaan ratusan anggota sayap pemuda PKI (Pemuda Rakjat) di dalam 
aksi itu tidak membuktikan kepemimpinan partai di dalam G-30-S. Tidak 
ada alasan untuk percaya bahwa peranannya lebih dari apa yang belakangan
 dinyatakan oleh sementara pimpinan partai, seperti Njono: tenaga 
bantuan untuk putsch intern Angkatan Darat. Usul dari beberapa pimpinan 
PKI di daerah-daerah luar Jakarta untuk membentuk dewan-dewan revolusi 
setempat, sesuai dengan dekrit pertama Letnan Kolonel Untung, sekali 
lagi hanya menunjukkan bahwa partai sungguh- sungguh mendukung aksi 
tersebut, tetapi ia bukanlah yang memimpin. Kehadiran Aidit di pangkalan
 AURI Halim tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa perannya lebih 
dari sekadar penonton atau penasihat yang menyetujui G-30-S.9 
Pusat Penerangan Angkatan Darat menerbitkan seri tiga jilid buku dari 
Oktober sampai Desember 1965, dengan maksud membuktikan bahwa PKI 
“mendalangi” G-30-S. Bukti-bukti yang diajukan dalam penerbitan ini 
tidak substansial, bergantung pada situasi tertentu (circum- stantial), 
atau tidak andal. Bukti utama ialah pengakuan Untung (yang ter- tangkap 
di Jawa Tengah pada 13 Oktober) dan Latief (ditangkap pada 11 Oktober di
 Jakarta), bahwa mereka adalah antek-antek PKI.10 Angkatan Darat 
mengutip laporan interogasi dari kedua perwira itu. Kiranya tidak 
mungkin bahwa masing-masing perwira tersebut dengan bersungguh- sungguh 
dan sukarela mengaku bekerja untuk kepentingan PKI. Saya mempunyai 
salinan laporan interogasi Latief (bertanggal 25 Oktober 1965), dan 
memang benar ia mengaku mengikuti perintah-perintah PKI. Namun, ia 
menyatakan, pada pembelaannya pada 1978, bahwa saat itu ia mengalami 
infeksi luka akibat tusukan bayonet di kakinya dan dalam keadaan 
setengah sadar.11 Dalam mahkamah pengadilan atau mahkamah sejarah yang 
layak di mana pun, kesaksian yang diperoleh di bawah tekanan dan dengan 
siksaan tidak dapat diterima. Dalam sidang-sidang pengadilan mereka 
kemudian, baik Untung maupun Latief, menyangkal laporan-laporan 
interogasi mereka, dan bersikeras bahwa mereka, sebagai perwira militer,
 telah memimpin G-30-S. PKI, mereka menegaskan, diajak ikut serta hanya 
sebagai tenaga bantuan.12 
Mengingat bahwa penjelasan Suharto dipaksakan dengan kekuatan senjata 
dan bukan kekuatan penalaran, tidak banyak tentangnya yang patut 
dipertimbangkan. Angkatan Darat tidak pernah membuktikan tuduhannya. 
Orang harus curiga ketika tuduhan sebagian didasarkan atas propaganda 
palsu dan sebagian lagi atas dasar kesaksian yang diperoleh melalui 
siksaan. Pengakuan dua tokoh pimpinan PKI, Njono dan Aidit, yang 
diterbitkan oleh pers Angkatan Darat pada akhir 1965 merupakan pemalsuan
 yang terang benderang.13 Demikian juga kisah yang disiarkan 
besar-besaran tentang perempuan-perempuan peserta G-30-S yang menyiksa 
dan memotong kemaluan tujuh perwira tangkapan mereka di Lubang Buaya, 
ternyata merupakan rekayasa, barangkali ciptaan para ahli perang urat 
syaraf.14  Sekalipun arus propaganda terus membanjir selama tiga puluh 
tahun lebih, tentara Suharto tidak pernah membuk- tikan bahwa PKI telah 
mendalangi G-30-S. 
Saat membidik PKI sebagai “dalang” G-30-S, militer Suharto tidak dapat 
menjelaskan satu fakta dasar: G-30-S dilakukan oleh personil militer, 
yaitu Letnan Kolonel Untung dan pasukannya dari pasukan kawal 
kepresidenan, Kolonel Latief dan pasukannya dari garnisun Jakarta, Mayor
 Soejono dan pasukannya dari pangkalan AURI Halim, Kapten Sukirno dan 
pasukannya dari Batalyon 454 Jawa Tengah, dan Mayor Soepeno dan 
pasukannya dari Batalyon 530 Jawa Timur. Demikian juga halnya di Jawa 
Tengah, kekuatan G-30-S terutama terdiri dari perwira- perwira Angkatan 
Darat dan bukan para aktivis partai. Sekali lagi tidak ada bukti kuat 
tentang kehadiran PKI secara dominan. Apa pun persisnya keterlibatan 
anggota-anggota partai tertentu, ketika itu mereka tampak berada di 
pinggiran aksi yang dilakukan oleh personil militer. Versi rezim Suharto
 hanya dapat benar jika orang berasumsi bahwa perwira-perwira Angkatan 
Darat yang terlibat itu menempatkan diri mereka di bawah PKI dan mereka 
bersedia menjalankan perintah partai seperti robot.15 
Benedict Anderson dan Ruth McVey benar dengan penjelasannya dalam 
“analisis awal” Januari 1966 bahwa PKI bukanlah dalang. Sampai saat itu 
tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk tuduhan yang muncul baik di dalam 
berita-berita pers maupun pernyataan-pernyataan Angkatan Darat. Maka 
yang lebih masuk akal ialah menjelaskan G-30-S sebagai suatu putsch 
intern Angkatan Darat. 
Isu tentang keterlibatan PKI menjadi lebih ruwet segera setelah Anderson
 dan McVey menyelesaikan laporan mereka. Pada sidang pe- ngadilan Njono 
dan Untung dalam Februari dan Maret 1966, nama- nama dua anggota PKI – 
Sjam dan Pono – disebut-sebut sebagai anggota kelompok inti komplotan. 
Untung mengatakan bahwa Sjam dan Pono adalah wakil-wakil Aidit, yang 
membantu G-30-S namun tidak memim- pinnya.16 Peranan mereka, menurut 
Untung, tidak berarti. Mereka tampil semata-mata untuk meyakinkan bahwa 
“PKI akan memberikan bantuan dari tenaga massa.”17 Ia dan 
perwira-perwira militer lain menginginkan adanya tenaga bantuan untuk 
mendukung aksi-aksi mereka, sehingga mereka berpaling kepada PKI yang 
dapat mengerahkan ribuan pemuda, yang baru saja menerima latihan 
kemiliteran singkat di pangkalan udara Halim. Namun Untung kemudian 
mengubah versinya sendiri mengenai rangkaian peristiwa itu, dengan 
menyatakan bahwa bantuan Sjam termasuk menuliskan konsep dekrit pertama 
G-30-S tentang pemben- tukan dewan-dewan revolusi.18 Pimpinan inti yang 
lain, Mayor Soejono dari AURI, sebagai saksi dalam persidangan Njono, 
membuat Sjam dan Pono terlihat terlibat lebih jauh lagi di dalam G-30-S.
 Ia mengatakan bahwa Sjam adalah pimpinan perencana G-30-S, “Saudara 
Sjam jang merupakan seorang tokoh dari PKI jang kami lihat dan kami 
ketahui merupakan orang jang memegang penentuan dalam rapat maupun 
pertemuan-pertemuan itu.”19 Karena Soejono menyatakan bahwa Sjam juga 
dikenal dengan nama Sugito, banyak pengamat menduga Sjam, tokoh yang 
belum pernah mereka dengar sebelumnya, pastilah nama samaran dari 
Tjugito, anggota Central Comite PKI yang dimunculkan dan salah seorang 
dari empat puluh lima orang yang duduk dalam Dewan Revolusi Indonesia.20
  Identitas Pono juga sama tidak jelas. Penying- kapan tentang Sjam dan 
Pono melahirkan kerutan baru dalam kisah ini. Apakah Untung dan Soejono 
menceritakan kebenaran? Siapakah dua orang ini? Apa posisi mereka di 
dalam PKI? Apa pula peranan mereka dalam G-30-S? 
Semula alur kisah Angkatan Darat menampilkan Sjam dan Pono tidak lebih 
sebagai fungsionaris yang tak dikenal di dalam organisasi PKI. Diduga 
mereka bawahan langsung Aidit, yang melaksanakan perintah-perintahnya. 
Tapi Angkatan Darat tidak menjelaskan bagaimana dua orang ini dapat 
mengorganisasi sekelompok perwira militer dan memimpin G-30-S. Wartawan 
Amerika John Hughes, yang menulis pada awal 1967, sambil lalu menyebut 
dua orang itu sebagai wakil- wakil PKI dalam G-30-S.21 Namun, alur kisah
 resmi ini berubah secara substansial sesudah mantan anggota Politbiro 
Soejono Pradigdo meng- khianati kawan-kawan lamanya ketika ia ditangkap 
pada Desember 1966. Angkatan Darat mulai menggunakan laporan 
interogasinya (teks ini tidak dibuka untuk umum) sebagai dasar 
pernyataan bahwa PKI membentuk organisasi rahasia yang bernama Biro 
Chusus (BC) untuk menyusup ke tubuh militer dan menggarap simpatisan 
partai 
di kalangan perwira. Sjam disebut sebagai kepala Biro Chusus ini dan 
Pono sebagai asistennya. Walaupun nama-nama Sjam dan Pono sudah muncul 
di persidangan Mahmilub pada 1966, istilah “Biro Chusus” belum 
disebut-sebut.22  Angkatan Darat menggunakan informasi dari Pradigdo ini
 untuk menambah sebuah simpul baru dalam alur kisahnya: PKI 
mengorganisasi G-30-S melalui Biro Chusus Sjam dan Pono. Satu kekurangan
 dalam alur kisah sebelumnya – tidak adanya wahana antara partai dan 
para perwira militer – dibenahi dengan tambahan Biro Chusus tersebut. 
Dengan memperhatikan informasi baru ini, seorang sejarawan yang 
mengabdikan dirinya kepada Angkatan Darat, Nugroho Notosu- santo, dan 
juga penuntut umum Mahmilub Ismail Saleh, memasok rezim Suharto dengan 
kisah baru melalui buku mereka The Coup Attempt of the “September 30th 
Movement” (terbit pertama kali pada April 1967).23 
Penangkapan Sjam pada Maret 1967, rupanya berkat pengkhianatan Pradigdo 
yang memberitahukan tempat-tempat persembunyian partai, memungkinkan 
Angkatan Darat menerbitkan informasi lebih banyak lagi mengenai Biro 
Chusus. Sebagai saksi dalam sidang 1967 dan sebagai tertuduh dalam 
persidangannya sendiri pada 1968, Sjam secara mengejutkan mudah buka 
mulut. Menurut kesaksiannya, Aidit memerintahkannya untuk melaksanakan 
G-30-S. Sjam menjelaskan bahwa beberapa anggota Politbiro dan Central 
Comite mengetahui adanya Biro Chusus, tetapi tidak tahu-menahu tentang 
kinerjanya. Biro Chusus tetap ada di luar struktur formal partai dan 
berfungsi khusus di bawah komando Aidit. Organisasi bawah tanah partai 
inilah, menurut Sjam, yang meyakinkan berbagai perwira militer agar ikut
 dalam G-30-S. Semua buku yang disponsori pemerintah, seperti misalnya 
buku putih 1994, mendasarkan uraian mereka pada kesaksian Sjam itu.24 
Versi pemerintah, dalam dua hal pokok, merupakan perluasan yang tidak 
dapat dipertanggungjawabkan dari kesaksian Sjam. Apabila Sjam menyatakan
 hanya Aidit yang memerintahkan Biro Chusus untuk meng- organisasi 
G-30-S, Angkatan Darat menyatakan badan pimpinan partai yang lebih 
besar, yaitu Central Comite, yang mengambil keputusan.25 
Sementara Sjam melukiskan G-30-S sebagai pembersihan terhadap 
jenderal-jenderal sayap kanan yang bekerja untuk kekuatan neokolonialis,
 Angkatan Darat menggambarkannya sebagai suatu percobaan kudeta. Karena 
Angkatan Darat sudah melarang PKI, membunuh banyak pen- dukungnya, dan 
menahan ratusan ribu orang sebagai tahanan politik, maka institusi ini 
harus menyatakan bahwa seluruh organisasi partai dari puncak sampai 
bawah terlibat. Angkatan Darat harus menunjuk Central Comite PKI sebagai
 otak G-30-S. Untuk memberi pembenaran pada kehebatan penindasan, 
Angkatan Darat harus menampilkan aksi G-30-S sebagai kup yang mengancam 
seluruh struktur pemerintah. 
Laporan CIA 1968 mengikuti garis rezim Suharto dan menyatakan bahwa 
melalui Biro Chusus itulah PKI merancang dan melaksanakan G-30-S. 
Seperti dalam buku Notosusanto dan Saleh sumber utama yang dipakai ialah
 transkrip interogasi para pemimpin G-30-S. Laporan itu tidak mencatat 
bahwa beberapa pimpinan G-30-S menolak keabsahan transkrip-transkrip itu
 dalam persidangan mereka dan menyatakan bahwa mereka diancam dengan 
kekerasan jika menolak membubuh- kan tanda tangan.26  CIA mengakui bahwa
 jawaban-jawaban mereka mungkin merupakan hasil paksaan, namun 
terus-menerus menggunakannya sebagai dasar narasinya. Laporan ini 
disertai sebuah lampiran yang membenarkan penggunaan sumber-sumber itu. 
Penulis laporan, belakangan diketahui sebagai Helen-Louise Hunter, 
seorang agen CIA yang mengkhususkan dirinya pada masalah komunisme di 
Asia, berargu- men bahwa laporan-laporan interogasi tersebut dapat 
dipercaya karena adanya “kesamaan yang mencolok dalam cerita-cerita yang
 dituturkan oleh Untung, Latief, Soejono, dan Supardjo.” Kesamaan yang 
demikian, sejauh memang ada, dapat diterangkan justru karena paksaan 
interogator agar mereka menerima alur cerita Angkatan Darat sendiri.27 
Metodologi CIA merupakan cacat yang tidak dapat diperbaiki: orang tidak 
dapat bersandar pada pernyataan para tahanan suatu kekuatan militer yang
 secara rutin melakukan penyiksaan, terutama ketika kekuatan tersebut 
sejak 2 Oktober bertekad menempatkan PKI sebagai dalang (atau “mencari 
bukti-buktinya,” seperti ditulis Yoga Sugama). Orang dapat juga menulis 
sejarah ilmu sihir Eropa dengan menggunakan pengakuan- pengakuan di 
hadapan Inkuisisi sebagai kebenaran. 
Pelahap penjelasan rezim Suharto tentang G-30-S di Amerika Serikat 
melampaui ruang-ruang di markas besar CIA di Langley, Virginia. Bagi 
para penulis antikomunis garis keras, tingkat pembuktian yang diperlukan
 tidak terlalu tinggi saat mereka berasumsi bahwa G-30-S merupakan 
manifestasi cara kekerasan, yang sudah dapat diramalkan, dari kaum 
komunis untuk merebut kekuasaan negara. Mereka berpegang pada parodi 
yang digunakan Anderson dan McVey tentang citra PKI sebagai gergasi, 
seakan-akan partai ini telah “digerakkan oleh ambisi kelewat pongah dan 
kebutuhan bawaan untuk menyatakan dirinya melalui kekerasan.”28 Ilmuwan 
politik yang produktif Justus M. van der Kroef menulis serangkaian 
artikel pada akhir 1960-an dan awal 1970-an dan melemparkan kesalahan 
G-30-S sepenuhnya kepada PKI. Menurut dugaannya, PKI sudah mengerahkan 
kekuatan pada 1965, memulai tindakan ofensif, dan merencanakan kudeta. 
Dalam pandangan Kroef, G-30-S merupakan konsekuensi wajar dan sudah 
dapat diramalkan dari gerak gigih partai meraih kekuasaan.29 Dalam 
denyut serupa ilmuwan politik yang mempunyai hubungan dekat dengan 
militer Indonesia, Guy Pauker, menulis laporan untuk Rand Corporation 
yang menunjukkan kelaiksalahan PKI sebagai suatu kebenaran tak 
terpungkiri.30  Menulis untuk khalayak yang lebih luas, wartawan Arnold 
Brackman mengajukan dua penjelasan tentang peristiwa 1965 yang memamah 
biak alur baku penjelasan dari rezim Suharto.31 Pengkajian terhadap buku
 Notosusanto dan Saleh serta penerbitan-penerbitan dari van der Kroef, 
Pauker, dan Brackman akan menghadirkan bukti-bukti tercemar serupa yang 
dikemas dengan cara berbeda-beda. Pada akhirnya, satu-satunya bukti 
bahwa PKI memimpin G-30-S adalah karena Angkatan Darat menyatakan 
demikian. 
Satu cacat kasat mata dalam narasi rezim Suharto pasca-1967 tentang Biro
 Chusus adalah narasi itu sangat bergantung kepada kesaksian seseorang 
yang mengakui bahwa menipu adalah pekerjaannya. Sjam seorang tokoh yang 
tak dikenal. Ia tidak pernah muncul sebagai pemimpin PKI. Ia mengaku 
bahwa ia sedemikian dipercaya oleh Aidit sehingga ditugasi untuk 
melakukan operasi yang rumit dan tinggi taruhannya, yaitu membersihkan 
para panglima puncak Angkatan Darat. Tingkah laku dan gaya bicara Sjam 
yang dipertontonkannya di ruang sidang tidak memberi kesan bahwa ia 
seorang pemimpin partai yang berpengaruh. Jika ia berhasil menanjak ke 
posisi yang demikian tinggi dan penting di dalam partai, mengapa ia 
begitu santai membocorkan rahasia-rahasia partai di persidangan 
Mahmilub? Mengapa tutur katanya tidak lebih mendekati tutur kata 
pimpinan partai yang lain, seperti Sudisman, satu- satunya anggota Dewan
 Harian Politbiro yang selamat?32  Keterangan Sudisman pada 
persidangannya dalam Juli 1967 penuh dengan kebulatan tekad yang gagah 
dan kepercayaan tak tergoyahkan kepada kekuatan partai dan proletariat. 
Sjam, yang bertekuk lutut di depan mahkamah militer, tampak seperti 
permaklum-an buruk bagi seseorang yang se- mestinya menjadi padanan 
kepala KGB jika partai berhasil mengambil alih kekuasaan negara. Dapat 
dipahami jika ceritanya tentang jaringan klandestin pekerja partai yang 
menyusupi tubuh militer disambut dengan kecurigaan besar oleh kalangan 
pengamat. Sekali lagi, Benedict Anderson dan Ruth McVey benar, ketika 
menulis pada 1978, melon- tarkan keraguan akan kebenaran kesaksian Sjam 
dan menduga bahwa sangat mungkin Sjam seorang agen ganda yang lebih 
banyak bekerja untuk militer ketimbang untuk Aidit dan PKI.33 Dalam 
artikelnya yang belakangan lagi-lagi Anderson menegaskan bahwa identitas
 Sjam tidak dapat ditetapkan dengan pasti: “Apakah ia mata-mata Angkatan
 Darat di dalam jajaran orang-orang komunis? Atau dia mata-mata komunis 
di dalam militer? Atau mata-mata untuk pihak ketiga? Atau mata-mata 
ketiga-tiganya secara bersamaan?”34 
Tidak  dapat  dibantah  bahwa  beberapa  orang  pemimpin  dan anggota 
PKI dengan satu atau lain cara terlibat dalam G-30-S. Sudisman mengaku 
demikian dalam persidangannya (saya akan kembali ke hal ini dalam Bab 
5). Pertanyaan yang belum terjawab ialah bagaimana tepatnya keterlibatan
 mereka. Siapa-siapa dan badan-badan partai mana saja yang ikut serta? 
Bagaimana pemahaman mereka tentang G-30-S? Apa alasan mereka? Apa 
hubungan mereka dengan para perwira militer di dalam G-30-S? Dengan 
menyalahkan PKI secara menyeluruh, sampai pada anggota-anggota 
organisasi-organisasi front di tingkat desa yang tidak mempunyai 
hubungan apa pun dengan G-30-S, rezim Suharto mem- pecundangi PKI dengan
 melakukan perburuan membabi buta belaka. Jika Angkatan Darat memang 
bersungguh-sungguh dalam pengumpulan bukti tentang keterlibatan PKI, ia 
tidak akan bergegas-gegas mengek- sekusi empat dari lima pimpinan puncak
 partai. D.N. Aidit, justru tokoh yang oleh Angkatan Darat dinyatakan 
sebagai dalang, ditembak mati di sebuah tempat rahasia di Jawa Tengah 
pada 22 November 1965, segera sesudah ia tertangkap.35 
G-30-S SEBAGAI PEMBERONTAKAN PERWIRA MUDA 

 
Dalam bulan-bulan terakhir 1965, ketika G-30-S masih tetap merupakan 
misteri bagi setiap orang kecuali bagi mereka yang mempercayai propagan-
 da militer, Anderson dan McVey menghimpun analisis tentang peristiwa 
tersebut, dengan membacai berbagai macam surat kabar Indonesia. Seperti 
sudah saya kemukakan di atas, mereka tidak menemukan bukti bahwa PKI 
bermain sebagai dalang. Partai belum memobilisasi massanya untuk 
mendukung G-30-S. Kendati partai menyatakan dukungannya kepada G-30-S 
melalui surat kabarnya, Harian Rakjat, partai tidak mencurahkan seluruh 
kekuatannya di belakang  G-30-S untuk memastikan keberha- silan gerakan 
tersebut: “Tak seorang pun keluar di jalan-jalan di Jakarta, dan tidak 
terlihat adanya koordinasi kegiatan, baik di kota maupun di seluruh 
tanah air,” tulis Anderson dan McVey.36 Editorial Harian Rakjat 2 
Oktober, yang mencerminkan kebijakan resmi partai, secara implisit 
memerintahkan anggotanya untuk tidak ikut-ikut karena editorial ini 
menyatakan bahwa G-30-S merupakan urusan intern Angkatan Darat. Jika 
orang percaya bahwa PKI mengorganisasi G-30-S, kemudian tidak melakukan 
tindakan apa pun untuk mencegah G-30-S memberosot ke kekalahan, ia harus
 percaya bahwa PKI memiliki kecenderungan bunuh diri yang mencengangkan.
 Apa pun kekurangan PKI, sukar dipercaya, seperti ditulis Anderson dan 
McVey, bahwa pimpinan partai telah “memasang jerat di leher sendiri dan 
menunggu dinaikkan di tiang lampu terdekat.”37  Mereka mencatat bahwa 
PKI tidak tampak mempunyai alasan untuk melancarkan kudeta karena partai
 “telah berjalan sangat baik melalui jalan damai” di bawah pimpinan 
Presiden Sukarno.38 Dalam hal ini W.F. Wertheim sependapat dengan 
Anderson dan McVey, “Sejak 1951 strategi PKI didasarkan pada perjuangan 
legal dan parlementer, dan di bawah pemerintahan Sukarno strategi ini 
kelihatannya agak meng- untungkan partai, yang menyebabkan segala 
pikiran tentang perubahan strategi ke arah kekerasan secara mendadak 
sangat tidak mungkin.”39 
Karena G-30-S merupakan operasi militer yang melibatkan sangat sedikit 
orang sipil, Anderson dan McVey yakin gerakan ini pasti timbul dari 
dalam tubuh militer sendiri. Mereka memperhatikan bahwa sebagian besar 
pimpinan G-30-S adalah mantan perwira atau perwira aktif Angkatan Darat 
dari Kodam Diponegoro, yang meliputi Jawa Tengah. Latief adalah perwira 
Diponegoro yang dipindah ke Jakarta pada 1962. Untung adalah Komandan 
Batalyon 454 di Jawa Tengah sebelum penem- patannya di pasukan kawal 
kepresidenan pada awal 1965. Ia sangat dekat dengan Kolonel Suherman, 
pimpinan utama G-30-S di Jawa Tengah, selagi mereka sama-sama bertugas 
di Batalyon 454. Suherman adalah Komandan Batalyon 454 sebelum Untung. 
Batalyon ini, tentu saja, adalah batalyon yang ikut ambil bagian dalam 
G-30-S pada 1 Oktober dengan menduduki Lapangan Merdeka. Menarik 
diperhatikan bahwa satu-satunya daerah di luar Jakarta di mana G-30-S 
aktif adalah di Jawa Tengah. 
Anderson  dan  McVey  memandang  G-30-S  sebagai  semacam pemberontakan 
dalam Angkatan Darat yang dilancarkan para perwira muda Jawa Tengah yang
 merasa jijik terhadap gaya hidup dekaden dan orientasi politik 
pro-Barat para jenderal di SUAD di Jakarta. Para perwira muda ini 
menganggap staf umum di bawah Yani bersalah karena “tunduk terhadap 
korupsi masyarakat elite Jakarta, mengabaikan bekas anak buah mereka 
(Jenderal Yani dan beberapa lainnya adalah mantan perwira Di- ponegoro),
 dan terus-menerus menentang dan merintangi kebijakan- kebijakan luar 
dan dalam negeri Presiden Sukarno.”40  Anderson dan McVey berpendapat 
bahwa G-30-S merupakan usaha untuk mengubah 
arah Angkatan Darat menjadi lebih merakyat. Mereka menunjuk kepada 
pernyataan pertama G-30-S, yang menyatakan bahwa “Jenderal-jenderal dan 
perwira-perwira yang gila kuasa, yang menelantarkan nasib anak buah, 
yang di atas tumpukan penderitaan anak buah hidup bermewah- mewah dan 
berfoya-foya menghina kaum wanita dan menghambur-hamburkan uang negara 
harus ditendang keluar dari Angkatan Darat dan diberi hukuman setimpal.”
 
Menurut Anderson dan McVey jaringan perwira Jawa Tengah itu ingin 
membersihkan Angkatan Darat dari jenderal-jenderal yang korup dan 
berpolitik konservatif, serta memberi Sukarno kebebasan lebih besar 
untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya. Untuk membangun kekuatan 
mereka, perwira-perwira Jawa Tengah ini mengajak orang-orang tertentu 
dari AURI dan PKI di dalam operasi mereka, sementara merekalah yang 
memegang kendali kepemimpinannya. Para perwira menginginkan agar PKI 
tidak hanya menyediakan personil tambahan untuk operasi mereka, tapi 
juga dukungan politik begitu aksi mereka berakhir. Dengan demikian PKI 
bukannya menjadi dalang, melainkan korban penipuan dari perwira-perwira 
itu. Partai telah “diperdaya” sehingga melibatkan dirinya di dalam 
sebuah aksi yang tidak ia mengerti sepenuhnya.41 
Karena pimpinan partai berpikir mereka hanya memainkan sebagian kecil 
peran dalam drama pihak lain, mereka tidak memandang aksi itu dengan 
sungguh-sungguh dan tidak membayangkan bahwa mereka akan dipersalahkan 
jika G-30-S gagal. 
Tesis Anderson dan McVey lemah dalam sejumlah hal. Apakah latar belakang
 Jawa Tengah para perwira itu cukup untuk menjelas- kan bagaimana ikatan
 mereka sebagai kelompok? Sementara beberapa orang  konspirator  
sebelumnya  memang  dari  Kodam  Diponegoro (Latief, Suherman, Untung), 
beberapa orang lainnya tidak. Soejono dan Supardjo adalah tokoh-tokoh 
yang berasal usul Jawa Tengah, tetapi mereka tampaknya tidak mempunyai 
hubungan lama dan akrab dengan perwira-perwira yang lain. Soejono dari 
Angkatan Udara dan Supardjo dari Kodam Siliwangi, Jawa Barat, Angkatan 
Darat. Salah satu dari batalyon-batalyon yang terlibat berasal dari 
Kodam Brawijaya, Jawa Timur. Umumnya putsch dan kup dilancarkan oleh 
para perwira yang dipersatukan oleh ikatan persaudaraan yang cukup kuat 
dan sebelumnya telah teruji: mereka bekas kadet-kadet akademi militer 
dari tahun lulusan yang sama atau perwira-perwira dari kesatuan yang 
sama atau peserta dalam operasi militer tertentu.42 Tapi G-30-S terdiri 
dari sekelompok perwira yang sangat berlain-lainan latar belakangnya. 
Seandainya Anderson dan McVey benar dalam berpendapat bahwa para perwira
 militer itulah yang memimpin G-30-S, lalu mengapa strategi militer 
gerakan ini dirancang dengan sangat compang-camping? Perwira- perwira 
ini seharusnya mampu merancang aksi militer yang masuk akal, yang tidak 
akan begitu rentan terhadap serangan balasan. Suatu aksi yang dirancang 
murni menurut pertimbangan militer barangkali akan berakhir dengan hasil
 yang berlainan. 
Rintangan utama yang menjadi sandungan bagi tesis Anderson dan McVey ada
 di sekitar pengumuman-pengumuman radio pada siang hari 1 Oktober. 
Mengapa para perwira yang ingin membersihkan Angkatan Darat dari 
jenderal-jenderal yang korup dan anti-Sukarno juga memu- tuskan untuk 
mengumumkan pemerintah baru dari “Dewan Revolusi”? Mengapa mereka tidak 
puas dengan membersihkan jenderal-jenderal dan kemudian memberi 
kesempatan Sukarno dengan kewenangan penuh mengambil tindakan lebih 
lanjut? Mengapa mereka bersusah- payah mencampuri hak istimewa presiden 
dalam memilih kabinetnya? Karena tidak mempunyai jawaban pasti atas 
pertanyaan-pertanyaan ini, Anderson dan McVey berspekulasi bahwa 
pernyataan-pernyataan siang hari itu adalah akibat dari “kekacauan dan 
kebodohan.” Pernyataan- pernyataan itu merupakan “reaksi panik” terhadap
 munculnya serangan balasan Suharto dan penolakan presiden untuk 
mengeluarkan pernyataan terbuka yang memberi dukungan penuh kepada aksi 
mereka. “Tujuan utama” pernyataan-pernyataan itu “agaknya sebagai usaha 
mengimbangi ketidaksediaan Presiden bekerja sama yang semakin besar, 
dengan meraih dukungan dari kelompok-kelompok ‘luar’ dalam masyarakat.” 
Dengan mengumumkan nama-nama empat puluh lima anggota Dewan Revolusi 
Indonesia, sebuah “spektrum luar biasa dari tokoh-tokoh yang tak 
terduga,” G-30-S berharap dapat memperluas basis pendukungnya.43 
Jika demikian halnya, timbul pertanyaan: Mengapa G-30-S berusaha 
memperluas basis dukungannya dengan mengganggu wewenang presiden dan 
menyatakan bahwa seluruh kekuasaan negara telah jatuh ke tangan gerakan 
ini? Bukankah tindakan itu tak perlu-perlunya mengundang permusuhan 
seluruh pendukung Sukarno yang cukup banyak? Ada kesan bahwa G-30-S 
seharusnya dapat menemukan jalan yang lebih baik untuk menggalang 
dukungan ketimbang dengan menyatakan adanya perubahan pemerintahan sipil
 secara drastis seperti itu. 
Anderson, dalam artikelnya yang terbit belakangan, telah mengubah 
penafsirannya terhadap pengumuman-pengumuman radio siang hari itu. Ia 
sekarang melihat semua itu sebagai petunjuk bahwa G-30-S adalah sebuah 
jebakan. Pengumuman-pengumuman tersebut dimak- sudkan terdengar konyol 
dan kontraproduktif. Anderson menulis bahwa rangkaian panjang 
“kebodohan” dan “kesalahan besar” G-30-S telah menimbulkan kecurigaan 
“bahwa rangkaian ini disusun dengan sengaja untuk memastikan kegagalan 
G-30-S.” Pengumuman-pengumuman itu “hanya membingungkan masyarakat, 
melumpuhkan massa, dan menye- diakan dalih mudah untuk menghancurkan 
Gerakan 30 September itu sendiri.” Ia menjelaskan kesemrawutan 
kejadian-kejadian sebagai hasil kerja terampil para perwira Angkatan 
Darat tak dikenal yang berharap menciptakan suatu dalih untuk menyerang 
PKI. Dengan mengajukan pendapat bahwa G-30-S memang dirancang untuk 
gagal, Anderson menyetujui argumentasi Wertheim, yang akan saya uraikan 
lebih rinci kemudian dalam bab ini.44  Anderson tetap berpegang pada 
gagasan bahwa PKI bukanlah si dalang. Dalam sebuah wawancara pada 1996 
ia menyatakan, “Saya tidak bisa mutlak mengatakan bahwa PKI tidak 
mempunyai hubungan dengan G-30-S. Tapi saya masih tetap ber- pendapat, 
bahwa ia bukanlah perancang utama G-30-S.”45 
G-30-S SEBAGAI PERSEKUTUAN ANTARA PERWIRA ANGKATAN DARAT DAN PKI 

 
Seperti Anderson dan McVey, Harold Crouch menganggap bahwa kekukuhan 
Angkatan Darat menyatakan bahwa PKI adalah dalang tidak didukung 
pembuktian. Dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia (1978) ia 
menyatakan bahwa tidak ada “bukti kuat yang menunjuk- kan bahwa para 
perwira yang tersangkut dalam Gerakan Tiga Puluh September adalah 
pendukung setia PKI.” Terdapat “sedikit [informasi] yang menunjukkan 
bahwa mereka siap mengikuti instruksi partai dengan membabi buta.”46 
Dalam merumuskan alternatif terhadap versi resmi pemerintah, Crouch 
tidak mempercayai bahwa versi sebaliknya yang harus disampaikan, bahwa 
para perwira militer itu adalah dalang-dalang yang melibatkan 
anggota-anggota PKI sebagai korban penipuan. Menurut Crouch, bukti-bukti
 yang muncul dalam persidangan Mahmilub yang digelar sesudah Anderson 
dan McVey menulis laporan mereka menunjukkan bahwa anggota-anggota PKI 
yang terlibat dalam G-30-S tidak dapat digambarkan sebagai sosok-sosok 
terperdaya. Kesaksian-kesaksian di ruang pengadilan menunjukkan bahwa 
keterlibatan PKI, terutama anggota-anggotanya, Sjam dan Pono, terlalu 
mendalam untuk dapat disusut sebagai gegabah dan kebetulan. Crouch tidak
 dapat menerima naskah Cornell yang membebaskan PKI sepenuhnya dari 
kesalahan. Meski demikian, kesimpulan menyeluruh Crouch sesuai dengan 
premis dasar naskah Cornell. Ia berpendapat bahwa “inisiatif awal timbul
 dari tubuh Angkatan Darat.”47 PKI sangat terlibat tetapi tetap sebagai 
pemain kedua. 
Crouch memandang para perwira yang terlibat dalam G-30-S sebagai 
sekutu-sekutu PKI, bukan sebagai budak-budaknya, “Jelas mereka mau 
bekerja sama dengan wakil-wakil partai untuk dapat mencapai tujuan 
mereka. Agaknya semua peserta utama G-30-S mungkin sudah jauh sebelumnya
 dinilai oleh Biro Chusus dan dipandang memuaskan oleh Sjam dan 
kawan-kawannya … Walaupun wakil-wakil Biro Chusus merupakan 
anggota-anggota penting dalam komplotan, sedikit bukti yang menunjukkan 
bahwa peran mereka dominan.”48 Crouch menggam- barkan G-30-S sebagai 
hasil kolaborasi yang kokoh antara para perwira militer “progresif ” 
dengan Biro Chusus PKI. 
Versi  Crouch  dapat  dicocokkan  dengan  versi  yang  diajukan 
Sudisman, anggota yang selamat dari Dewan Harian Politbiro CC-PKI, badan
 yang merupakan inti kepemimpinan partai. (Tiga anggota Dewan Harian 
yang lain – Aidit, Lukman, dan Njoto – dieksekusi diam-diam oleh militer
 sekitar akhir 1965. Anggota Dewan yang kelima, Oloan Hutapea, 
dieksekusi pada 1968 di Jawa Timur). Dalam pidatonya yang terakhir di 
depan mahkamah militer pada 1967, Sudisman mengajukan pembedaan antara 
pimpinan tertentu dalam partai yang terlibat dalam G-30-S sebagai 
perseorangan, dengan partai sebagai sebuah lembaga yang “tidak 
tahu-menahu tentang G-30-S.” Partai sebagai lembaga, Sudisman 
menyatakan, memandang G-30-S sebagai peristiwa “intern AD”. Ia 
menjelaskan bahwa Central Comite tidak pernah membahas tentang G-30-S 
dan para anggota biasa partai tidak pernah diinstruksikan untuk 
mendukungnya. Dengan demikian partai tidak bertanggung jawab sebagai 
sebuah lembaga. Sudisman mengakui bahwa beberapa “tokoh- tokoh PKI, 
termasuk saya sendiri” telah ikut berperan serta dalam hal-hal yang 
tidak dirincinya.49  Menurut keterangan Sudisman, sekelompok perwira 
militer progresif bertindak atas inisiatif pribadi, dan beberapa anggota
 partai tertentu bertindak atas inisiatif sendiri dan tanpa memberi tahu
 atau berkoordinasi dengan organisasi-organisasi partai secara formal, 
memberikan bantuan kepada para perwira tersebut. 
 
Pimpinan PKI secara perseorangan, paling tidak Aidit dan Sudisman, 
melibatkan diri di dalam operasi militer rahasia ini dan membawa serta 
kelompok-kelompok terpilih dari kalangan pendukung PKI. Bagi segelintir 
pemimpin PKI G-30-S bukanlah merupakan operasi resmi partai. Ia adalah 
putsch militer yang akan membuahkan hasil yang menguntungkan bagi 
partai. Pimpinan partai ingin mendukung G-30-S tetapi tidak ingin 
melibatkan seluruh partai di dalamnya. Sudisman menegaskan bahwa 
inisiatif dan kepemimpinan G-30-S tetap pada para perwira militer. 
Sejauh ini penjelasan Crouch merupakan penjelasan yang paling bijaksana 
dan beralasan yang dapat diperoleh. Masalahnya terletak pada 
keterbatasannya. Sementara Crouch memecahkan soal dalang dengan rapih, 
ia membiarkan soal-soal lain tak terpecahkan. Ia tidak dapat menjelaskan
 mengapa G-30-S dirancang dengan buruk dan mengapa gerakan ini 
menyiarkan pengumuman-pengumuman radio di sore hari. Seperti Anderson 
dan McVey, uraiannya tidak cukup menjelas- kan bagaimana awalnya 
kelompok perwira militer yang berbeda-beda itu bergabung. Jika mereka 
yang melahirkan rencana dan mempunyai kemandirian dalam berhadapan 
dengan PKI, apa yang menjadi dasar kesamaan mereka? 
G-30-S SEBAGAI KONSPIRASI PKI 
Versi rezim Suharto mulai tampak sangat mencurigakan pada akhir 1990-an 
ketika informasi tentang latar belakang Suharto muncul. W.F. Wertheim, 
seorang Belanda pakar keindonesiaan terkemuka, meng- ungkapkan dalam 
sebuah artikel pendek pada 1970, bahwa Suharto adalah teman dua orang 
pimpinan G-30-S: Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief.50  Suharto 
pergi dari Jakarta ke sebuah kota kecil di Jawa Tengah (Kebumen) pada 
akhir April 1964 untuk menghadiri pernikahan Untung. Hubungan antara 
kedua orang ini tentu cukup rapat karena seorang jenderal Angkatan Darat
 kiranya tidak akan melakukan perjalanan jauh hanya untuk urusan 
remeh-temeh belaka.51  Suharto juga mengenal Kolonel Latief sebagai 
teman dekat. Dua orang ini sudah saling mengenal sejak hari-hari perang 
gerilya melawan Belanda dalam akhir 1940-an. Suharto dua kali bercerita 
kepada wartawan asing bahwa Latief datang menengoknya pada malam 
menjelang G-30-S dimulai. Penjelasan Suharto adalah bahwa Latief entah 
berniat membunuhnya atau  memeriksa  keberadaannya.  Ia  tidak  mengaku 
 telah  berbicara dengan Latief malam itu.52 Bahwa Latief dikurung di 
penjara di dalam sel isolasi selama bertahun-tahun sebelum diizinkan 
tampil di depan umum mengesankan bahwa Suharto ada dalam dilema: ia 
tidak ingin Latief dieksekusi seperti yang lain-lain tapi juga tidak 
ingin ia berbicara di depan umum. 
Wertheim melihat aspek-aspek mencurigakan lain lagi di dalam G-30-S. 
Suharto tidak termasuk jenderal-jenderal yang diculik, meski ia panglima
 pasukan yang penting di Jakarta dan merupakan ancaman potensial bagi 
setiap percobaan pemberontakan atau kup. Pasukan G-30-S tidak memblokade
 markas Kostrad, walaupun markas itu tidak jauh dari posisi mereka di 
depan istana. Suharto bergerak bebas dari kantornya di Kostrad sementara
 pasukan-pasukan pemberontak berkerumun di Lapangan Merdeka langsung di 
depannya. Suharto, menurut Wertheim, bergerak dengan “efisiensi yang 
ajaib di tengah-tengah keadaan yang luar biasa membingungkan.”53 
Sebagian besar perwira militer di Jakarta tidak tahu harus bertindak 
bagaimana. Tapi Suharto rupanya tahu persis apa yang diperlukan untuk 
mematahkan G-30-S. 
Misteri identitas Sjam juga menggelitik kecurigaan Wertheim. Rezim 
Suharto menampilkan Sjam di depan umum pada 1967 dan menyatakan bahwa 
Sjam ialah orang kepercayaan Aidit, yang dipercaya memelihara 
hubungan-hubungan di kalangan militer. Wertheim mengemukakan, barangkali
 sebaliknyalah yang benar bahwa Sjam adalah orang militer yang ditugasi 
menyusup ke PKI. Tak seorang pun “yang memainkan peranan di dalam PKI 
atau mempunyai hubungan dekat dengan partai, pernah mendengar tentang 
tokoh Sjam ini.”54  Kesaksian Sjam tidak dapat dipercaya. Bisa jadi ia 
seorang agen ganda yang bekerja atas nama unsur tertentu di kalangan 
militer. Jika benar demikian, kemungkinan ia memainkan “peranan 
provokator” untuk membawa PKI terlibat dalam sebuah aksi yang 
direncanakan untuk gagal.55 Dalam karangan berikut- nya pada 1979 
Wertheim sekali lagi menuduh Sjam sebagai antek tentara di dalam PKI. 
Ada “satu orang tertentu sebagai manipulator konspirasi yang lihai: 
manusia misterius Sjam yang bekerja sebagai agen Angkatan Bersenjata.”56
 Sjam bekerja atas nama unsur-unsur antikomunis dalam Angkatan Darat dan
 diganjar dengan perlakuan istimewa di penjara, “Ia diperlakukan dengan 
hormat oleh para interogator dan tak seorang pun pernah melihatnya 
dianiaya atau disiksa selama atau sesudah interogasi. 
Ia diberi balas jasa untuk sikapnya yang ‘kooperatif ’ selama 
persidangan dengan perlakuan yang sangat istimewa baik ketika di penjara
 Nirbaya dekat Jakarta, maupun belakangan ketika di Rumah Tahanan 
Militer (RTM). Ia dipindahkan ke RTM atas permintaan sendiri karena 
rupanya ia merasa lebih aman di sana. Semua ini terjadi kendati putusan 
hukuman mati telah dijatuhkan atasnya.”57 
Kiranya Wertheim benar dalam satu hal: Suharto mengenal dekat baik 
Latief maupun Untung. Dalam sidangnya pada 1968 Latief mem- benarkan apa
 yang sudah diakui Suharto: keduanya bertemu pada malam hari 30 
September 1965. Tapi ia membantah pernyataan Suharto bahwa keduanya 
tidak saling berbicara. Latief bersaksi bahwa ia memberi tahu Suharto 
tentang adanya beberapa perwira Angkatan Darat yang akan mengambil 
tindakan terhadap Dewan Jenderal, “sehari sebelum kejadian itu saya 
melapor langsung kepada Bapak Mayjen. Suharto, sewaktu beliau berada di 
RSPAD [Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat] sedang menunggui putranya yang 
ketumpahan sup panas. Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat 
bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau.”58 Latief bercerita 
lebih lanjut. Ia menyatakan bahwa ia juga sudah membicarakan masalah 
Dewan Jenderal dengan Suharto satu hari sebelumnya (29 September) di 
kediaman Suharto di Jakarta, 
Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya beserta keluarga
 mendatangi ke rumah keluarga Bapak Jenderal Suharto di Jalan Haji Agus 
Salim, yang waktu itu beliau masih menjabat sebagai Panglima Kostrad. Di
 samping acara keke- luargaan saya juga bermaksud: ‘Menanyakan dengan 
adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau.’ Beliau 
sendiri justru memberitahukan kepada saya: ‘Bahwa sehari sebelum datang 
ke rumah beliau, ada seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta 
bernama Subagiyo, membe- ritahukan tentang adanya info Dewan Jenderal, 
yang akan mengadakan coup d’etat terhadap kekuasaan pemerintahan 
Presiden Soekarno.’” Tanggapan dari beliau, akan diadakan penyelidikan. 
Oleh karena di tempat/ruangan tersebut banyak sekali tamu, maka 
pembicaraan dialihkan pada soal-soal lain, antara lain soal rumah.59 
Di depan mahkamah Latief menceritakan bagaimana ia menjadi teman bagi 
keluarga Suharto. Ia bertugas bersama Suharto sejak akhir 1940-an, 
Saya sebagai anak buah sekalipun sudah terlepas dari ikatan komando 
dengan Bapak Jenderal Suharto, di mana pun beliau berada selalu saya 
temui. Dengan sendirinya timbul keakraban secara kekeluargaan di luar 
dinas … Memang saya pribadi adalah bekas anak buah beliau yang langsung 
di bawah pimpinan beliau, sewaktu menjabat sebagai Dan Kie 100 yang 
langsung organisatoris dan taktis pada Brigade X, pada waktu zaman 
gerilya … Mengenai kekeluargaan di luar dinas pun, saya mempunyai 
keakraban semenjak di Jawa Tengah, sekalipun beliau sudah terlepas dari 
komando saya, tetap sering saya datangi. Kebiasaan perwira-perwira 
bawahan yang sejajar dengan saya (Komandan-komandan Batalyon), jarang 
datang ke tempat beliau, terkecuali saya, kata teman- teman saya itu, 
mereka merasa segan, karena Jenderal Suharto dianggap terlalu seram. 
Penilaian saya tidak. Sebagai bukti lagi sewaktu beliau mengkhitankan 
puteranya bernama Sigit, keluarga saya pun datang. Saya sendiri tidak 
dapat datang, karena ibu saya sedang sakit keras di Surabaya. Sebaliknya
 pada waktu saya mengkhitankan anak saya, beliau dengan Ibu Tien juga 
datang ke rumah saya. Jadi kesimpulan saya dengan Jenderal Suharto 
sekeluarga tidak mempunyai persoalan apapun, malahan mempunyai hubungan 
akrab.60 
Latief demikian dekat dengan Suharto sehingga pada kunjungan 29 
September tersebut ia mengusulkan bertukar rumah dengan Suharto. Sebagai
 perwira komando distrik Jakarta, Latief mendapat sebuah rumah besar 
bekas kediaman duta besar Inggris. Latief mengatakan bahwa ia berencana 
memberikan rumah itu kepada Suharto dan kemudian ia dan keluarganya 
pindah ke rumah Suharto yang lebih sederhana. Latief ingin agar teman 
lama dan perwira atasannya itu memiliki rumah yang lebih bagus.61 
Untung, menurut Latief, juga bekas bawahan yang mempunyai hubungan baik 
dengan Suharto, “Letkol Untung pun juga pernah menjadi anak buah 
langsung sewaktu di daerah Korem Sala, yang kemudian Letkol Untung 
terpilih sebagai salah seorang pimpinan Gerilyawan yang diterjunkan di 
Halmana [di Irian Barat] sewaktu Trikora. Pernah saya dengar dari 
pembicaraan Letkol Untung sendiri, sewaktu selesai tugas Trikora ia 
dipindahkan ke Resimen Cakrabirawa, ia katakan dengan peristiwa itu 
Jenderal Suharto pernah marah-marah atas kepindahannya ke Men Cakra itu.
 Karena ia akan ditarik sebagai pasukan Kostrad di bawah pimpinan 
beliau.”62Kecurigaan terhadap Suharto bertimbun: ia mempunyai hubungan 
baik dengan Untung dan Latief, dua batalyon yang digunakan G-30-S dibawa
 ke Jakarta atas perintahnya, dan ialah yang mengambil keun- tungan 
paling banyak dari aksi itu. Bagi Wertheim kenyataan-kenyataan ini 
menunjukkan bahwa Suharto adalah salah seorang di antara dalang- dalang 
G-30-S. Dalang-dalang sebenarnya adalah “tokoh-tokoh militer yang 
menggunakan agen ganda seperti Sjam untuk tujuan mereka sendiri.” Tujuan
 mereka ialah menciptakan dalih yang dapat mereka gunakan untuk 
menyerang PKI dan merongrong kekuasaan Sukarno. “Seluruh peristiwa itu 
lebih kelihatan seperti sebuah rancangan komplot yang terencana dengan 
baik, secara khusus ditujukan untuk dengan telak mencemarkan PKI maupun 
Presiden Sukarno sendiri, dan dengan demikian memberi kesempatan dan 
alasan untuk membersihkan pengaruh mereka dalam kehidupan politik di 
Indonesia.”63  Gerakan 30 September kelihatan begitu semrawut dan 
sia-sia karena merupakan operasi gadungan yang memang dibuat untuk 
dipatahkan dengan mudah.64 
Wertheim tidak berspekulasi tentang peranan setepatnya yang dimainkan 
Suharto, Untung, dan Latief dalam G-30-S. Alur kisah Wertheim secara 
tidak langsung menyatakan bahwa Suharto bagaimana pun juga bersekongkol 
dengan teman-temannya dalam mengorganisasi- kan G-30-S. Barangkali 
Suharto memprakarsai G-30-S, menempatkan dua teman lamanya dan Sjam 
dalam kepemimpinan, lalu mengkhianati mereka. Atau, barangkali Suharto 
menyatakan kepada teman-temannya bahwa G-30-S memang akan gagal namun 
menjanjikan kepada mereka bahwa mereka akan selamat dan diberi kedudukan
 yang enak dalam pemerintahan baru.65 
Walaupun  penyelesaian  Wertheim  atas  teka-teki  G-30-S  ini cukup 
anggun, menjelaskan beberapa kejanggalan dengan penuturan yang ajeg, ia 
harus menghadapi sejumlah keberatan yang mencolok. Pertama, 
penjelasannya tampak mustahil. Dalam skenario Wertheim Suharto menjadi 
seorang tokoh jenius yang adimanusia. Segala sesuatu berjalan menurut 
rencananya. G-30-S tidak sekadar melibatkan PKI dan runtuh dengan cepat,
 ia juga membuka jalan bagi Suharto untuk menjadi panglima Angkatan 
Darat. Perwira atasan Suharto (Yani) dan sebagian besar kawan-kawan dan 
lawan-lawannya dibersihkannya dalam sekali tebas. Sukar dipercaya bahwa 
Suharto dapat menjadi sedemikian pintar dalam menyusun aksi klandestin 
yang secara sangat sempurna bermanfaat baginya. Suharto tidak mempunyai 
reputasi sebagai pengatur siasat yang luar biasa pandai. 
Kedua,  jika  Suharto  bekerja  dengan  jenderal-jenderal  lain  di 
dalam apa yang Wertheim sebut sebagai “konspirasi para jenderal” untuk 
mengorganisasi G-30-S, agaknya tidak mungkin mereka akan merancang 
sebuah rencana yang menghendaki pembunuhan terhadap tujuh jenderal 
lainnya. Jika tujuannya ialah dalih untuk mengganyang PKI dan membawa 
Angkatan Darat ke panggung kekuasaan negara, mengapa dalam prosesnya 
mereka bersedia dengan serius mengacaukan Angkatan Darat? Mengapa mereka
 mau mengorbankan perwira-perwira antikomunis sesama mereka? Wertheim 
menyadari satu soal yang jelas, bahwa tidak mungkin staf umum Yani yang 
mengorganisasi G-30-S karena begitu banyak di kalangan mereka yang 
menjadi korban. Jenderal- jenderal lain mana yang mungkin bersekongkol 
untuk mengorganisasi G-30-S? Satu-satunya alasan untuk membunuh 
jenderal-jenderal ini ialah untuk melapangkan jalan bagi Suharto naik 
tahta. Maka kemungkinan dalangnya ialah Suharto sendiri, oleh karena 
tidak mungkin ia akan menerima bantuan dari jenderal siapa pun untuk 
sebuah rencana yang mempertaruhkan nyawa tujuh jenderal. Wertheim 
mengakui bahwa Suharto satu-satunya jenderal yang mempunyai motivasi 
untuk mengor- ganisasi G-30-S, tetapi bersisurut dari argumen bahwa 
memang Suharto yang telah mengorganisasinya. Alih-alih, Wertheim 
mengajukan klaim yang lebih sederhana bahwa Suharto “seandainya pun 
secara pribadi ia tidak terlibat konspirasi,” telah mengetahui 
sebelumnya tentang gerakan itu. Bagi Wertheim, kesalahan Suharto, 
setidak-tidaknya, terletak pada kenyataan bahwa ia tidak memberi tahu 
perwira-perwira atasannya tentang adanya rencana komplot tersebut.66 Ini
 merupakan pernyataan yang jauh lebih lunak ketimbang pernyataan bahwa 
sejumlah perwira militer pro-Suharto telah menggunakan Sjam sebagai agen
 ganda untuk menciptakan kup palsu. 
Ketiga, tujuan mengaitkan PKI di dalam usaha kup dapat saja tercapai 
dengan cara yang jauh lebih tegas dan terang-terangan. Jika 
jenderal-jenderal tertentu Angkatan Darat atau Suharto sendiri, telah 
merancang G-30-S dengan tujuan seperti itu di dalam pikiran mereka, 
tentu mereka akan menggunakan kelompok Untung agar mengu- mumkan melalui
 radio bahwa mereka bekerja untuk PKI dan bertekad hendak menggulingkan 
Sukarno. G-30-S menyembunyikan rapat-rapat hubungannya dengan PKI dan 
tidak pernah menyatakan dengan jelas bahwa gerakan ini ingin melancarkan
 kup terhadap Sukarno. Pengu- muman pertama G-30-S menyatakan bahwa 
Untung berniat melin- dungi Sukarno. Tidak satu pun dari 
pengumuman-pengumumannya menyebutkan PKI. 
Keempat, pimpinan G-30-S tidak berpikir bahwa mereka bertindak atas nama
 Suharto. Jika seandainya demikian, mereka pasti akan meminta Sukarno 
mengangkat Suharto sebagai pengganti Yani. Melalui Supardjo pimpinan 
G-30-S merekomendasikan nama-nama tiga jenderal sebagai calon pejabat 
sementara pimpinan Angkatan Darat: Pranoto, Basuki Rachmat, dan U. 
Rukman.67 Mereka tidak mengusulkan nama Suharto. Sambil memikirkan 
segala kemungkinan Sukarno menolak Suharto karena ia “terlalu koppig,” 
dan Supardjo tampaknya tidak memohon atas nama Suharto.68 Sukar dipahami
 G-30-S membunuh tujuh jenderal demi kepentingan Suharto dan kemudian 
tidak mencoba mempengaruhi Sukarno agar mengangkatnya sebagai panglima 
interim. 
Uraian yang diajukan Wertheim – G-30-S sebagai “komplotan yang 
terorganisasi dengan baik” untuk menjebak PKI – tetap pada taraf 
spekulasi, sebagaimana diakui oleh Wertheim sendiri.69  Tindakan- 
tindakan Suharto justru dengan gampang dapat dijelaskan dengan 
memperhatikan cerita Latief. Pada persidangannya Latief menyatakan bahwa
 ia dan Untung bertindak bebas dari Suharto dan mereka hanya menerima 
dukungan tak terucapkan (“tidak ada reaksi dari beliau”) darinya. Latief
 menjelaskan bahwa ia dan Untung sudah memandang Suharto sebagai 
pendukung teguh Presiden Sukarno dan percaya bahwa ia akan mendukung 
aksi-aksi mereka dalam melawan Dewan Jenderal: “Memang saya berpendapat,
 bahwa satu-satunya orang, beliaulah, yang saya anggap loyal terhadap 
kepemimpinan Presiden Soekarno, dan saya kenal semenjak dari Yogyakarta,
 siapa sebenarnya Bapak Jenderal Suharto ini.”70 Menurut Latief, ia 
keliru saja menilai Suharto. 
Persahabatan Latief dan Untung dengan Suharto dan kepercayaan mereka 
tentang kesetiaannya kepada Presiden Sukarno dapat menjelaskan mengapa 
G-30-S tidak menjadikan Suharto sebagai sasaran penculikan dan 
pembunuhan. Karena gerakan ini memperhitungkan dukungan Suharto, 
kemungkinan Latief dan Untung berpikir bahwa rencana mereka kebal dari 
kesalahan dan bahwa mereka hanya memerlukan sejumlah kecil pasukan untuk
 menduduki Jakarta dengan sukses. Bahwa dua batalyon utama yang terlibat
 dalam G-30-S ada di bawah komando Kostrad tidak membuktikan 
keterlibatan Suharto. Bisa saja para konspirator menga- dakan perjanjian
 dengan para komandan batalyon tanpa sepengetahuan Suharto atau perwira 
lain siapa pun di markas besar Kostrad. Pemberi- tahuan Latief kepada 
Suharto dapat menjelaskan mengapa ia berhasil melakukan aksi dengan 
“efisiensi yang ajaib di tengah-tengah keadaan yang luar biasa 
membingungkan.” Rasa kasih sayang kekeluargaan yang tersisa, dan 
barangkali rasa syukur atas pemberitahuan yang diterimanya, dapat 
menjelaskan mengapa Suharto tidak membiarkan Latief diek- sekusi. 
Walaupun bukti-bukti yang ada tidak mendukung pendapat bahwa Suharto 
adalah dalang, mereka setidak-tidaknya memberi kesan bahwa ia telah 
mengetahui keberadaan G-30-S sebelumnya, memberikan dukungan dengan 
diam-diam, dan akhirnya mengkhianati bekas sahabat- sahabatnya yang naïf
 itu. 
Masing-masing dari empat strategi naratif di atas gagal memberi 
penjelasan yang memuaskan tentang semua keganjilan G-30-S. Kadar 
keterandalan masing-masing bergantung pada sorotannya atas rangkaian 
fakta-fakta yang terbatas sementara mengabaikan, menutupi, atau keliru 
menjelaskan fakta-fakta lain. Sepanjang dasawarsa-dasawarsa yang telah 
berlalu sejak peristiwa tersebut tak seorang pun tiba pada uraian menye-
 luruh yang memuaskan. Gerakan 30 September telah menjadi semacam sebuah
 kubus Rubik yang tak terpecahkan, dengan enam warna yang tidak dapat 
bersesuaian dengan keenam sisinya. Tak satu orang pun dapat 
menyelaraskan fakta-fakta itu dengan uraian yang masuk akal. 
Satu kendala dalam memecahkan teka-teki ini ialah pemaksaan cara 
penyelesaian palsu yang teramat kuat segera sesudah peristiwa terjadi. 
Saat tentara Suharto mendesakkan uraiannya sendiri – PKI sebagai dalang –
 ia juga menciptakan fakta-fakta (misalnya kisah penyiksaan di Lubang 
Buaya dan pengakuan para pemimpin PKI). Dengan banjir propagandanya 
rezim Suharto telah memasang ranjau di sepanjang jalan kaum sejarawan 
dengan petunjuk palsu, jalan belokan yang buntu, dan penggalan-penggalan
 bukti yang direkayasa. Kepalsuan cara penyelesaian Suharto terlihat 
nyata dalam penggunaan istilah PKI yang tidak tepat. Menurut versi 
pemerintah, PKI mendalangi G-30-S. Tetapi jelas bahwa sebagai lembaga 
yang terdiri dari jutaan manusia, PKI tidak mungkin dapat mengorganisasi
 pemberontakan militer yang bersifat rahasia. 
Jika PKI secara keseluruhan tidak bertanggung jawab, bagaimanakah 
tepatnya hubungan antara pimpinan PKI dengan G-30-S? Misalnya, apa yang 
dilakukan Aidit di pangkalan udara Halim? Anderson dan McVey 
menampilkannya sebagai “korban penipuan” para perwira pem- berontak. 
Tapi mereka menulis analisis itu sebelum timbul keterangan tentang 
peranan penting yang dimainkan oleh Sjam dan Biro Chusus dan sebelum 
Sudisman mengakui bahwa beberapa pimpinan partai tertentu telah 
“terlibat dalam G-30-S” tetapi “PKI sebagai partai tidak terlibat.” 
Crouch merujukkan informasi baru ini dengan analisis naskah Cornell 
dengan menyatakan bahwa pimpinan dan anggota tertentu PKI telah membantu
 secara aktif, tetapi tidak mengarahkan, putsch para perwira menengah 
Angkatan Darat. Sejauh ini uraian yang dikemukakan Crouch merupakan yang
 paling kaya informasi, namun seperti halnya naskah Cornell, ia pun 
tidak mampu menjelaskan, mengapa pemberontakan militer yang pro-Sukarno 
harus menyasar pada pendemisioneran cabinet Sukarno. 
Uraian Wertheim berhasil memecahkan keganjilan ini dengan 
menggambarkannya sebagai suatu provokasi yang disengaja. Pendemi- 
sioneran kabinet dimaksud untuk memberi jaminan bahwa masyarakat tidak 
akan mendukung G-30-S. Menurut Wertheim, beberapa pemimpin tertentu PKI 
menjadi terlibat dalam G-30-S, karena mereka – seperti naskah Cornell 
juga berargumen – menjadi korban penipuan. Tapi mereka tidak ditipu oleh
 para perwira pemberontak melainkan oleh komplotan perwira-perwira 
anti-PKI dan agen ganda mereka, Sjam. Para perwira yang ingin 
menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno merancang G-30-S sehingga 
akan dapat mengaitkan PKI dalam tindak kejahatan dan kemudian runtuh. 
Sjam memikat Aidit dan elemen- elemen lain dalam PKI ke dalam perangkap.
 Sementara garis besar uraian Wertheim itu memecahkan keganjilan dalam 
pendemisioneran kabinet, 
ia melahirkan keganjilan-keganjilan baru. Jika G-30-S merupakan sebuah 
perangkap, ia haruslah dirancang oleh Suharto atau para perwira yang 
bekerja untuknya. Namun para perwira dalam G-30-S tidak mengusul- kan 
kepada Sukarno agar ia menunjuk Suharto sebagai pengganti Yani. 
Akhirnya, cara pemecahan Wertheim tidak berhasil menjelaskan banyak 
bagian dalam teka-teki ini. 
________________________________________________
CATATAN 
1 Saya akan mengabaikan tiga penjelasan lainnya, yaitu dari Dake, 
Holtzappel, dan Fic. Dake berpendapat, atas dasar bukti-bukti yang tidak
 andal, bahwa Presiden Sukarno adalah otak di balik G-30-S (Dake, In the
 Spirit of the Red Banteng). Satu-satunya bukti yang dipunyai Dake ialah
 transkrip interogasi ajudan Presiden Sukarno, Kapten Bambang 
Widjanarko, oleh personil Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan 
dan Ketertiban). Dake juga menulis kata pengantar untuk teks transkrip 
interogasi asli yang berbahasa Indonesia dan terjemahannya dalam bahasa 
Inggris (Karni, Devious Dalang). Untuk kritik lunak terhadap tesis Dake 
yang berlebihan, lihat Crouch, Army and Politics in Indonesia, 119-121. 
Untuk kritik yang lebih tajam, lihat tinjauan Ernst Utrecht terhadap 
buku-buku Dake dan Karni, dalam “An Attempt to Corrupt Indonesian 
History.” Holtzappel berpendapat, berdasar salah tafsir yang sembrono 
terhadap kesaksian-kesaksian di depan Mahmilub, bahwa para perwira AURI,
 khususnya Mayor Soejono, adalah pimpinan-pimpinan G-30-S yang 
sebenarnya 
(Holtzappel, “30 September Movement”). Artikelnya terlalu dipenuhi 
informasi yang buruk sehingga tak layak ditentang. Fic berpendapat bahwa
 Mao Zedong memberi saran Aidit agar PKI membunuh jenderal-jenderal 
sayap kanan dan bahwa selanjutnya Aidit mendapat persetujuan Sukarno 
untuk rencananya itu. Fic menjalin kisah ini dari angan-angannya sendiri
 (Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, 94-105). Hanya bukti-bukti yang 
kokoh dapat mengungguli banyaknya alasan untuk memercayai bahwa Sukarno 
dan Tiongkok tidak mempunyai urusan dengan perencanaan G-30-S. 
2 Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 100. Alimin tidak lagi 
menjadi “boss PKI” sejak angkatan Aidit menggantikannya pada 1951. 
3 Sugama, Memori Jenderal Yoga, 148, 152-153. 
4 Brigadir Jenderal Sucipto adalah asisten Staf Koti urusan politik. 
Koti, Komando Operasi Tertinggi, dibentuk pada 1963 oleh Sukarno agar ia
 dapat mengendalikan militer dengan lebih baik dan mengurangi pengaruh 
Nasution. Sukarno memasukkan banyak tokoh-tokoh sekutunya di dalamnya, 
bahkan juga dari kalangan sipil. Tapi para perwira antikomunis, seperti 
Sucipto, masih mendapat tempat. Tentang peranan Subchan, lihat A.M. 
Mandan,“Subchan Z.E,” 54. 
5 Pusat Penerangan Angkatan Darat, Fakta-fakta Persoalan Sekitar 
“Gerakan 30 September,” Penerbitan Chusus no. 1, 5 Oktober 1965, 15-18. 
Angkatan Darat membuat buku ini sebagai penerbitan berseri bulanan dan 
menerbitkan sekurang-kurangnya dua buku lagi, bertanggal 5 November 
1965, dan 5 Desember 1965. 
6 CIA Report No. 22 from U.S. Embassy in Jakarta to White House [Laporan CIA No. 
22 dari Kedutaan Besar AS di Jakarta ke Gedung Putih], 8 Oktober 1965, dikutip dalam Robinson, Dark Side of Paradise, 283. 
7 Banyak bangunan PKI menjadi milik pemerintah. Di bawah Suharto gedung CC-PKI menjadi kantor Kementerian Pariwisata. 
8 Sudisman, Uraian Tanggungdjawab, 17. Lihat juga, Hughes, End of Sukarno, 141. 
9 Laporan intelijen militer Australia pada Desember 1965 menyatakan 
bahwa, “Bukti keterlibatan PKI sebenarnya – yaitu perencanaan sebelumnya
 oleh Central Comite – sebagian besar bersifat tidak langsung.” Dikutip 
dalam Easter, “’Keep the Indonesian Pot Boiling,’” 59-60. 
10 Pusat Penerangan Angkatan Darat, Fakta-fakta Persoalan Sekitar 
“Gerakan 30 September,” Penerbitan Chusus no. 2, 5 November 1965, 4. 
11 “Berita Atjara Pemeriksaan,” laporan interogasi Latief, 25 Oktober 
1965, sidang penga- dilan Latief, dokumen-dokumen Mahmilub. Interogator 
ialah Kapten Hasan Rany dari polisi militer. Tentang keadaan kesehatan 
Latief selama interogasi, lihat Latief, Pledoi Kol. A. Latief, 54-59. 
Banyak bekas tahanan politik yang ditahan di penjara Salemba ingat bahwa
 sel Latief menyebarkan bau menyengat dari daging yang membusuk. Luka 
pada kakinya mengakibatkan ia menjadi pincang seumur hidup. 
12 Untung menyatakan, ia tidak mempunyai hubungan dengan PKI, dan bahwa 
ia bersama Latief yang memulai G-30-S (“Gerakan 30 September” Dihadapan 
Mahmillub, Perkara Untung, 35-37). 
13 Anderson dan McVey menerbitkan ulang dan mengomentari pengakuan Njono
 dalam Preliminary Analysis, 157-162. Hughes menerbitkan ulang pengakuan
 Aidit dan menyatakan bahwa pengakuan itu mungkin pemalsuan (lihat End 
of Sukarno, 177-182). Ketika itu Aidit sebagai wakil ketua Majelis 
Permusyawaratan Rakyat (Sementara) atau MPR(S) dan menteri dalam kabinet
 Sukarno. Aidit tidak mungkin menyusun penjelasan tentangG-30-S di depan
 personil perwira menengah di pedalaman Jawa Tengah tidak lama sesudah 
ia tertangkap. Ia tentu akan menunggu sampai ia dibawa di depan umum dan
 Presiden Sukarno. Jika demikian itulah yang dikehendaki, ia dapat 
memberikan penjelasan kapan saja sebelum tertangkap pada 22 November 
1965. Teks itu sendiri terbaca seperti sebuah catatan rangkaian kejadian
 umum. Penekanannya pada waktu dan tanggal. Tidak tampak petunjuk bahwa 
Aidit sendiri yang menulis teks itu. Satu pertanda bahwa pengakuan itu 
palsu terletak pada pernyataan bahwa PKI berencana menghapus Pancasila 
sesudah kup. Ide bahwa PKI anti-Pancasila merupakan salah satu dari 
fitnah-fitnah baku dari Angkatan Darat. (Pada kenyataannya, PKI sudah 
mendukung ide menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara dalam sidang 
badan pembuat undang-undang dasar, Konstituante, dari November 1957 
sampai Juli 1959). Maka menggelikan jika orang menduga Aidit akan 
menentang Pancasila, khususnya pada saat krisis seperti itu, sementara  
ia tidak pernah sebelumnya me- nentangnya. Juga, pengakuan bahwa Aidit 
bertemu Sukarno di Halim. Sukarno dikelilingi orang-orang lain selagi di
 Halim. Tak seorang pun pernah menyatakan bahwa kedua tokoh itu pernah 
bertemu di sana. 
14 Anderson, “How Did the Generals Die?” 
15 Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia pada 1965, Marshall Green, 
mengikuti garis rezim Suharto dalam melukiskan perwira-perwira militer 
seperti Untung sebagai “pion-pion PKI” (Green, Indonesia, 53). 
16 “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 35, 38, 54. 
17 Ibid., 55. 
18 Ibid., 51. 
19  Kesaksian Mayor Soejono pada 16 Februari 1966 dalam “Gerakan 30 
September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 208. Berdiri sendiri, 
pernyataan Soejono bahwa Sjam sebagai pimpinan tidak dapat diterima 
begitu saja. Kesaksian Soejono penuh kejanggalan dan ketidakserasian. 
Tampaknya ia terbelit oleh usaha sia-sia untuk mengalihkan beban 
kesalahan dari dirinya. Kesaksiannya menjadi penting karena salah satu 
dari yang pertama kali, kalau bukan memang yang pertama kali, 
menyebut-nyebut nama Sjam di depan umum. 
20 Pada awal 1967 Hughes menulis, “‘Sjam’ yang misterius, sekarang dipercaya, sebenarnya ialah Tjugito” (End of Sukarno, 35). 
21 Ibid., 35-36, 78. 
22 Justus van der Kroef pernah menyatakan bahwa laporan Cornell 
“mengabaikan kinerja Biro Chusus.” Ia tidak menyebutkan bahwa laporan 
itu ditulis pada Januari 1966, lebih dari setahun sebelum istilah “Biro 
Chusus” menjadi dikenal (Van der Kroef, “Origins of the 1965 Coup in 
Indonesia,” 284). 
23 Buku yang hanya terbit dalam bahasa Inggris ini dimaksud untuk 
meyakinkan para pakar, wartawan, dan diplomat asing bahwa laporan 
Anderson dan McVey keliru (Notosusanto and Saleh, Coup Attempt of the 
“September 30 Movement”). Dua puluh tahun kemudian buku ini baru 
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia: Tragedi Nasional: Percobaan Kup 
G30S/PKI di Indonesia. 
24 Buku Putih yang saya maksud di sini ialah dari Sekretariat Negara Republik Indonesia, September 30th Movement. 
25 Ibid., 63-70. 
26  Njono, Supardjo, dan Latief, misalnya menolak keabsahan berita 
interogasi mereka ketika memberikan kesaksian pada persidangan 
masing-masing. Untung tidak dengan tegas menolak berita interogasinya, 
tetapi ia memberi kesaksian yang bertentangan dengan berita interogasi 
itu. 
27 CIA, Indonesia – 1965, 312. Seorang mantan agen CIA yang 
mengkhususkan diri dalam masalah Asia Tenggara, Ralph McGehee, 
menyatakan bahwa laporan yang telah terbit ini dimaksudkan untuk 
menyesatkan. CIA “menggubah cerita palsu tentang apa yang telah terjadi”
 untuk konsumsi publik. Sementara itu untuk kebutuhan intern CIA 
“menyusun penelitian rahasia tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.”
 Bagian dalam buku McGehee tentang dua laporan ini sebagian dikenai 
sensor ketika CIA mengkaji naskahnya. Beberapa detil yang diketahui 
McGehee masih tetap ditutupi (lihat Deadly Deceits, 58). 
28 Anderson and McVey, Preliminary Analysis, 92. 
29  Van der Kroef, “Gestapu in Indonesia”; “Indonesia”; “Sukarno’s 
Fall”; “Indonesian Communism since the 1965 Coup”; Indonesia after 
Sukarno, chap. 1; “Interpretations of the 1965 Coup in Indonesia”; 
“Origins of the 1965 Coup in Indonesia.” 
30 Pauker, Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia. 
31 Brackman, Communist Collapse in Indonesia dan Indonesia: The Gestapu Affair. 
32 Politbiro CC-PKI terdiri atas dua belas orang. Di antara mereka, 
empat atau lima orang dipilih untuk bertugas sebagai anggota Komite 
Kerja, atau yang dikenal sebagai Dewan Harian. Menurut Sudisman, Dewan 
Harian pada 1965 mempunyai empat anggota: Aidit, Lukman, Njoto, dan 
Sudisman sendiri. Sudisman mengoreksi keterangan Sjam bahwa Dewan Harian
 terdiri dari lima orang (lihat transkrip persidangan Mahmilub untuk 
Sudisman, 7 Juli 1967). Subekti, dalam catatan rahasianya pada 1986, 
yang ditulis untuk kelompok kecil kaum loyalis partai yang masih hidup, 
mengenang bahwa Dewan Harian terdiri atas lima orang, yaitu selain empat
 tersebut di atas juga Oloan Hutapea (Subekti,“G-30-S Bukan Buatan PKI,”
 3). Dalam hal ini saya mempercayai Subekti karena catatan- nya, 
walaupun ditulis lebih kemudian dari keterangan Sudisman, ditujukan bagi
 kalangan dalam partai. Agaknya Sudisman sengaja ingin mengingkari bahwa
 Hutapea, yang pada 1967 masih menjadi buron, adalah pemimpin dengan 
kedudukan begitu tinggi. 
33 Anderson dan McVey, “What Happened in Indonesia?” 40-42. 
34 Anderson, “Petrus Dadi Ratu,” 14. Versi Indonesia karangan ini terbit dalam Tempo, 10-16 April, 2000. 
35 Aidit dieksekusi di suatu tempat dekat Boyolali, Jawa Tengah. 
Wartawan John Hughes pada 1967 menulis, “Matinya Aidit tidak dicatat 
dalam dokumen resmi apa pun yang 
tersedia bagi umum” (End of Sukarno, 175). Pada 1980 seorang perwira 
Angkatan Darat, Yasir Hadibroto, mengaku bertanggung jawab terhadap 
pembunuhan itu. Pada akhir 1965 Hadibroto adalah kolonel yang memimpin 
pasukan Kostrad yang dikirim ke Jawa Tengah untuk “menghancurkan” PKI. 
Ia menyatakan bahwa ia dan anak buahnya membunuh Aidit tanpa menerima 
perintah langsung dari Suharto (lihat “Menangkap Maling dengan 
Menggunakan Maling,” Kompas, 5 Oktober 1980; versi Inggris terbit dalam 
Tapol Bulletin, no. 41-42 [September-Oktober 1980]: 11-14). Mengingat 
ketokohan Aidit, tidak mungkin kiranya seorang kolonel berani bertindak 
tanpa perintah langsung dari Suharto. 
36 Anderson and McVey, Preliminary Analysis, 95. 
37 Ibid., 95. 
38 Ibid., 89. 
39 Wertheim, “Whose Plot?” 202. 
40 Anderson and McVey, Preliminary Analysis, 1. 
41 Ibid., 1, 18. 
42 Dalam menganalisis percobaan kup di Filipina pasca-Marcos, Alfred 
McCoy berpendapat bahwa para perwira pemberontak (RAM Boys yang bernama 
buruk) telah saling terikat sejak mereka di akademi militer (Closer Than
 Brothers, 259-298). 
43 Anderson and McVey, Preliminary Analysis, 38. 
44 Anderson, “Petrus Dadi Ratu.” 
45 Anderson, “Tentang Pembunuhan Massal ‘65’.” 
46 Crouch, Army and Politics, 116. 
47 Crouch, “Another Look at the Indonesian ‘Coup’,” 4. 
48 Crouch, Army and Politics, 116-117. 
49 Sudisman, Analysis of Responsibility, 4, 6-7. 
50 Wertheim, “Suharto and the Untung Coup.” 
51 Wertheim tidak mengutip sumber kisah tentang Suharto yang menghadiri 
pernikahan Untung. Salah seorang bawahan Suharto di Kostrad, Kemal 
Idris, sambil lalu menyebut dalam memoarnya bahwa ia menghadiri 
pernikahan Untung atas nama Suharto. “Saya kenal Untung dari saat saya 
menerima perintah untuk mewakili Suharto pada upacara pernikahannya 
karena ia bekas salah seorang bawahan Suharto” (Anwar et.al., Kemal 
Idris, 180). Apakah Suharto pribadi hadir ataukah mengirim Kemal Idris 
untuk mewakilinya, tampak bahwa ia mengenal dekat Untung. 
52 Brackman, Communist Collapse in Indonesia, 100; Der Spiegel, 27 Juni 1970, hal. 98. 
53 Wertheim, “Suharto and the Untung Coup,” 53. 
54 Ibid., 54. 
55 Ibid., 53. 
56 Wertheim, “Whose Plot?” 205. 
57 Ibid., 207. 
58 Latief, Pledoi Kol. A.Latief, 129. 
59 Ibid., 277. 
60 Ibid., 279, 282. 
61 Ibid., 282. 
62 Ibid., 280. 
63 Wertheim, “Whose Plot?” 204-205. 
64 Peter Dale Scott berpendapat dengan nada yang serupa, “Gestapu, 
tanggapan Suharto, dan pertumpahan darah merupakan bagian dari skenario 
tunggal terpadu untuk perebutan kekuasaan oleh militer.” Suharto adalah 
“konspirator utama dalam skenario ini.” (Scott,“United States and the 
Overthrow of Sukarno,” 244-245). 
65 Wakil Perdana Menteri Sukarno, Soebandrio, menceritakan bahwa ketika 
ia dan Untung bersama-sama di penjara, Untung bercerita kepadanya bahwa 
Suharto suatu saat akan menyelamatkannya. Untung yakin bahwa hukuman 
mati yang dijatuhkan kepadanya “hanya sandiwara” dan tidak akan pernah 
dilaksanakan (Soebandrio, Kesaksianku Tentang G-30-S, 23). Informasi ini
 tidak dapat diandalkan. Heru Atmodjo, yang dipenjarakan bersama Untung 
dan Soebandrio di Cimahi, meragukan keterangan ini karena Untung tidak 
pernah berbicara semacam itu kepadanya (wawancara dengan Heru Atmodjo, 
14 Desember 2002). Beberapa eks tapol lain teringat bahwa dalam 
tahun-tahun terakhir di penjara Soebandrio sedikit banyak telah 
kehilangan kesehatan jiwanya. Berdiri sendiri, bukunya yang ringkas itu 
(ditulis tahun 2000, sesudah dibebaskan dari penjara) tidak cukup dapat 
dipercaya. Walaupun dalam judulnya tercantum kata kesaksian, buku ini 
memuat lebih banyak spekulasi dan informasi dari tangan kedua ketimbang 
laporan saksi mata dan argumentasi yang cermat. 
66 Wertheim, “Indonesia’s Hidden History,” 299. 
67 Menurut versi rezim Suharto, Supardjo merekomendasikan Pranoto dan 
Rukman (Sekre- tariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 
September,145). Menurut Supardjo sendiri, ia mengajukan Pranoto, Rukman,
 dan Basuki Rachmat. Lihat lampiran 1. 
68 Sambil duduk di rumah Komodor Susanto di pangkalan udara Halim, 
Sukarno membahas masalah pengangkatan itu dengan Supardjo, di depan 
sekurang-kurangnya tujuh menteri dan perwira-perwira militer. Tidak 
seorang pun dari mereka kemudian menyatakan bahwa Supardjo mengajukan 
nama Suharto. 
69 Wertheim, “Indonesia’s Hidden History,” 305. 
70 Latief, Pledoi Kol.A.Latief, 279.
----------------------------------------------
 
Kejanggalan G 30S PKI
Tanggal 01 Oktober, dimana bangsa Indonesian memperingati hari kesaktian
 pancasila, yang selalu digambarkan, dicitrakan dengan kemenangan 
pancasila melawan ideologi komunis yang hendak merebut kekuasaan melalui
 G 30 S PKI. Namun apabila kita menengok sejarah bahwa semenjak 
meletusnya G 30 S PKI maka sejak itu pula merupakan awal dari pembunuhan
 masal terhadap orang yang “dianggap” harus bertanggung jawab terhadap 
gerakan G 30 S. Peristiwa ini merupakan tragedy kemanusiaan terbesar 
yang pernah dialami bangsa ini, yang kemudian melahirkan sebuah rezim 
baru yaitu rezim Soeharto dan orde baru nya. 
Sejarah tentang G 30 S PKI yang selama ini kita ketahui (versi orde 
baru) bahwa gerakan G 30 S PKI merupakan rencana kudeta terhadap 
pemerintahan yang berkuasa saat itu yaitu Soekarno dengan melakukan 
penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal- jenderal ABRI yang dimotori
 oleh PKI dan dibantu dengan militer yang berafiliasi dengan PKI yaitu 
Cakrabirawa dibawah Letkol Untung. Sejak dari kecil setiap tanggal 30 
September kita disuguhi oleh film tentang pemberontakan PKI dimana 
disitu ditayangkan bagaimana PKI dengan kejamnya menculik dan membunuh 
jenderal2 ( A. Yani, dkk). Namun semua itu hanyalah film buatan orde 
baru yang tentu kita tidak tahu bagaimana kebenaran ceritanya. Bahkan 
ketika orde baru runtuh pun kita belum tahu bagaimana sejarah yang benar
 tentang peristiwa tersebut, mengingat banyak saksi sejarah yang sudah 
tidak ada (meninggal, vonis hukuman mati atau bahkan ditembak ditempat).
 
Sampai dengan saat ini masih banyak sekali labirin – labirin yang selalu
 menimbulkan pertanyaan, dan dari berbagai buku dan literature yang ada,
 baik terbitan barat, maupun kesaksian subandrio pun masih banyak hal 
yang menjadi pertanyaan. Hal ini seharusnya pemerintah perlu meluruskan 
bagaimana sejarah yang sebenarnya terjadi pada saat peristiwa G 30 S 
PKI, sebab peristiwa ini merupakan tonggak awal dari berdirinya rezim 
kediktatoran Soeharto, masuknya korporat- korporat asing yang mengeruk 
kekayaan bangsa kita. Selain itu yang terpenting adalah bagaimana 
bencana kemanusiaan, pembunuhan masal terhadap orang- orang PKI 
diseluruh negeri ini yang menurut berbagai sumber mencapai setengah juta
 jiwa di Jawa dan Bali ini bisa terjadi. Lalu siapakah yang harus 
bertanggung jawab terhadap pembantaian tersebut?siapakah yang harus 
bertanggungjawab terhadap pengambilan hak – hak, pendiskriminasian 
mereka yang keturunan PKI?bagaimana mungkin kesalahan kolektif masih 
bisa diterima oleh bangsa ini?itulah rule of law yang telah ditolak 
diseluruh dunia, hanya bangsa kita lah yang menerimanya. Bagaimana 
mungkin pemberontakan oleh militer dan sipil yang pro terhadap PKI 
menjadi kesalahan seluruh partai PKI? dosa seluruh pengikut PKI? Ingat 
bahwa saat itu PKI merupakan partai ke 4 terbesar. Apakah sebanyak itu 
pula orang jahat dinegeri ini? 
Banyak sekali kejanggalan- kejanggalan yang terjadi dalam peristiwa G 30
 S PKI apabila itu disebut kudeta terhadap pemerintahan, mengingat 
kudeta ini hanya berumur pendek, dalam kurun waktu beberapa hari saja 
para pemimpinnya sudah ditangkap semua. Adalah suatu yang janggal ketika
 sebuah partai yang besar melakukan kudeta dengan rencana yang tidak 
tersusun rapi dan dalam waktu singkat bisa dipadamkan. Kejanggalan 
berikutnya adalah bagaimana mungkin partai yang saat itu dekat dengan 
presiden karena menyetujui aksi “Ganjang Malaysia” melakukan kudeta 
terhadap pemerintahan. Bagaimana keterlibatan agen CIA terhadap aksi 
ini, mengingat posisi Indonesia yang kuat dalam percaturan politik 
internasional dibawah Soekarno sudah mulai membahayakan Amerika yang 
pada saat itu sedang berperang di Vietnam. Kejanggalan terakhir adalah 
siapa yang berada dibalik semua peristiwa tersebut? Apakah kudeta G 30 S
 PKI merupakan kudeta yang direncana untuk gagal karena ada kudeta 
merangkak dibelakangnya. 
Kita tidak bisa tahu secara pasti karena berbagai fakta sejarah telah 
bercampur menjadi fiktif, sehingga sukar kita mengetahui apa dan 
bagaimana peristiwa tersebut secara utuh. Yang ada hanyalah kepingan – 
kepingan fakta sejarah yang membuat kita menyimpulkan sendiri bagaimana 
sebenarnya peristiwa G 30 S PKI tersebut. Dari buku “Dalih Pembunuhan 
Masal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto “ karya John Roosa, serta
 “Soebandrio : Kesaksianku Tentang G -30 S” yang merupakan kesaksian 
dari tokoh sentral PKI yaitu Soebandrio, semua berkesimpulan sama yaitu 
bahwa gerakan G 30 S PKI merupakan kudeta yang dirancang untuk gagal 
karena akan ada kudeta merangkak yang mengikutinya. Bahkan Bung Karno 
menyebut bahwa ini semua merupakan “Riak kecil dalam sebuah Revolusi 
Besar”. 
Seperti sebuah rencana- rencana kejahatan terselubung dalam film 
Sherlock Holmes yang penuh dengan teka – teki dan misteri, pada akhirnya
 bahwa pemenang atau aktor utama akan muncul seolah – olah menjadi 
pahlawan, dengan menggagalkan sebuah kudeta, menumpas seluruh 
“pemberontak” dan menguasai pemerintahan. Dan dialah presiden kedua kita
 Soeharto, seorang pahlawan yang muncul menjadi aktor utama setelah 
peristiwa G 30 S dan menguasai pemerintahan secara perlahan- lahan dan 
lambat laun dengan propaganda-propagandanya berhasil berkuasa hingga 30 
tahun. Sebagai warga negara saya hanya bisa berharap akan adanya 
pelurusan sejarah agar kita semua tidak terjebak pada dogma yang 
menyesatkan. Semoga akan ada sebuah buku yang mampu mengungkap secara 
jelas bagaimana peristiwa G 30 S sebenarnya, kronologisnya, motif dan 
dalang dibalik pembunuhan masal yang terjadi masa itu. Semoga. 
 
Versi lain
Mudah-mudahan
 tulisan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai  
kejadian yang sebenarnya. Ini adalah  versi lain dari versi resmi 
pemerintah Orde Baru, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap versi lain 
yang lebih  benar.
Ada
 seorang ahli sejarah yang sempat meneliti tentang kejadian  yang 
menimpa bangsa kita di tahun 1965, mengatakan bahwa di tahun 1965,  di 
Indonesia hanya ada satu Jendral dan dia adalah Mayjen TNI Soeharto.  
Menurutku ahli sejarah itu juga termakan image yang sengaja dibuat  
Soeharto bahwa dia adalah orang yang paling berjasa atas dibubarkannya  
Partai yang kini dianggap sebagai partai terlarang di negeri kita. 
Soeharto
 adalah seorang prajurit TNI berpangkat cukup tinggi  dan juga memegang 
salah satu jabatan penting dalam jajaran TNI sebagai  Panglima Komando 
Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Pada masa  kepemimpinan Ir.
 Soekarno, Soeharto adalah seorang perwira tinggi yang  tidak terlalu 
diperhitungkan. Itu juga menjadi penyebab tidak terteranya  nama 
Soeharto dalam daftar 7 jendral yang menjadi target pembunuhan  dalam 
pemberontakan PKI. 
 7
 Jendral yang menjadi target operasi PKI  (Baris pertama kiri-kanan) 
Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani, Letjen TNI  Anumerta MT Haryono, Letjen
 TNI Anumerta S Parman, Letjen TNI Anumerta  Suprapto. (Baris kedua 
Kiri-kanan) Mayjen TNI Anumerta Sutoyo  Siswomiharjo, Mayjen TNI 
Anumerta DI Panjaitan, Kapten Czi Anumerta  Pierre Tendean
Apa
 mungkin Soekarno lupa pada jasa Soeharto yang menjadi  arsitek Serangan
 Umum 1 Maret atas Kota Yogya yang berhasil menguasai  Kota Yogya selama
 6 jam yang kala itu dikuasai oleh Belanda? Ataukah  Soekarno mengetahui
 fakta yang sebenarnya terjadi.
Pada
 tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965, sebuah  
pemberontakan terjadi atas keutuhan Pancasila (itu kata rezim Orde  
Baru) namun berhasil ditumpas sampai ke akar-akarnya oleh seorang  
perwira tinggi bernama Soeharto. Sebuah cerita isapan jempol. 
Kisah Sebenarnya
Ketika
 masih duduk di bangku sekolah dasar,  ada sebuah film yang wajib 
ditonton oleh semua siswa sekolah dasar di  suluruh tanah air. Film itu 
adalah “Pemberontakan G 30 S PKI”. Hal ini  sangat disesali sekarang 
karena ternyata film itu tidak menceritakan  kejadian yang sebenarnya 
terjadi. Fakta telah diputarbalikkan oleh  seorang yang juga diperankan 
dalam film tersebut.
Kalau
 anda sempat menonton film tersebut dan mendengar kata  “Resolusi Dewan 
Jendral” yang sempat beberapa kali disebutkan dalam film  tersebut, hal 
itu benar adanya. Resolusi Dewan Jendral memang ada.  Beberapa orang 
Jendral pada saat itu sedang merencanakan untuk  menggulingkan kekuasaan
 Soekarno dan mengambil alih kekuasaan. 
Para
 pemimpin PKI kala itu cukup resah dengan adanya isu  tentang resolusi 
Dewan Jendral. Mereka khawatir jika para jendral  berhasil, maka posisi 
mereka berada di ujung tanduk. Untuk itu mereka  harus bergerak cepat, 
berpacu dengan waktu untuk menumpas para jendral  yang terlibat dalam 
Resolusi Dewan Jendral, sebelum para jedral  mendahuluinya.
Rakyat
 yang kala itu masih bodoh dicekoki  dengan pernyataan-pernyataan pedas 
tentang seberapa menyeramkan dan  menyakitkannya sebuah pemberontakan. 
PKI terus menyebarkan doktrin bahwa  pemberontakan itu identik dengan 
kekejaman. Rakyat akan semakin  terkepung dalam kesengsaraan. Doktrin 
yang dilontarkan PKI itu terhadap  rakyat itu pada akhirnya berhasil 
membakar darah rakyat yang kala itu  tengah dirundung duka yang mendalam
 dan berkepanjangan akibat dari  ketidak stabilan perekonomian di sebuah
 negara yang masih muda ini.  Akhirnya PKI mendapat restu dari rakyat 
yang telah didoktrinnya untuk  menumpas para jendral yang terlibat dalam
 Resolusi Dewan Jendral.
PKI
 sendiri mempunyai kepentingan dalam penumpasan ini. PKI  adalah 
pendukung terkuat Soekarno, dan Soekarno adalah pendukung terkuat  PKI 
demi sebuah image bagi dunia internasional bahwa Indonesia tidak  mudah 
dimasuki pengaruh Amerika Serikat. Memang Sokarno lebih menyukai  
politik sosialis demokratik seperti yang diajarkan Uni Soviet kepada  
dunia kala itu yaitu pemerataan.
Karena
 PKI takut kehilangan dukungan dari  presiden, maka PKI harus secepatnya
 menumpas Dewan Jendral sebelum Dewan  Jendral menggulingkan Soekarno. 
Maka direncanakanlah sebuah aksi untuk  menumpas Dewan Jendral. Akhirnya
 para pemimpin PKI sepakat tanggal yang  tepat untuk melakukan aksi 
adalah pada tanggal 30 September. >
Para
 pimimpin PKI melakukan rapat tentang aksi yang bakal  mereka lakukan. 
Sedikitpun mereka tidak menyinggung nama Soeharto karena  memang 
Soeharto kala itu bukan siapa-siapa. Dia tidak lain hanyalah  seorang 
prajurit TNI berpangkat tinggi yang tidak diperhitungkan dan  tidak 
penting sama sekali.
Disisi
 lain, Soeharto sendiri juga mengetahui tentang adanya  resolusi Dewan 
Jendral dan mengetahui bahwa PKI akan melancarkan aksi  untuk 
menumpasnya. Namun dia hanya diam. Soeharto juga memiliki  kepentingan 
jika PKI berhasil. Kepentingan Soeharto sebenarnya adalah  agar dia 
mulai dianggap penting dan kembali diperhitungkan di kancah  percaturan 
negeri ini sehingga dia bisa mendapat jabatan yang lebih  penting dari 
jabatan yang dia pegang saat itu. Dia biarkan PKI melakukan  aksinya 
dengan membunuh para perwira tinggi TNI yang memang memegang  jabatan 
penting di negara. Dengan demikian akan semakin berkurang  saingan bagi 
Soeharto untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dan lebih  penting dari 
sekedar panglima Kostrad.
Tanggal
 30 September pukul 4 pagi, diculiklah 7 jendral yang  menjadi target 
operasi PKI. Mereka dibawa ke lubang buaya dan diserahkan  kepada masa 
pendukung PKI yang telah berkumpul di sana sejak sore hari  tanggal 29 
September untuk diadili dengan cara mereka. Massa dibebaskan  melakukan 
apa saja sesuka hati mereka kepada para jendral yang akan  menambah 
kesengsaraan bagi rakyat tersebut. Massa yang berkumpul di  lubang buaya
 berpesta pora sebelum akhirnya menyiksa hingga mati para  jendral 
tersebut.
 Pagi
  harinya, Soeharto yang telah mengetahui hal ini mendapat laporan dari 
 beberapa ajudan jendral yang telah diculik. Soeharto hanya tersenyum  
dalam hati karena telah mengetahui bahwa semua ini akan terjadi.  
Ambisinya untuk menguasai negeri dengan pangkat dan jabatan yang dia  
miliki hanya tinggal selangkah lagi.
Pagi
  harinya, Soeharto yang telah mengetahui hal ini mendapat laporan dari 
 beberapa ajudan jendral yang telah diculik. Soeharto hanya tersenyum  
dalam hati karena telah mengetahui bahwa semua ini akan terjadi.  
Ambisinya untuk menguasai negeri dengan pangkat dan jabatan yang dia  
miliki hanya tinggal selangkah lagi. 
 
Tahukah
 anda apa sebenarnya yang telah direncanakan Soeharto  sebelumnya yang 
disimpannya baik-baik dalam benaknya? Dia biarkan PKI  membunuh ketujuh 
Jendral tersebut, lalu memfitnah PKI telah melakukan  kudeta terhadap 
Soekarno sehingga orang-orang PKI yang mengetahui fakta  sejarah dapat 
dengan mudah disingkirkan dengan cara difitnah. Doktrin  yang 
dilontarkan Soeharto adalah bahwa PKI akan melakukan pemberontakan  
terhadap kekuasaan Soekarno. Mungkinkah PKI akan menggulingkan pendukung
  terkuatnya? Tidak masuk akal. Ingat PKI dan Soekarno saling mendukung,
  apa mungkin PKI melakukan hal itu?
 
Pagi
 harinya Soeharto bergerak cepat dan melangkahi tugas  beberapa orang 
jendral atasannya dengan memegang tampuk pimpinan TNI  untuk sementara 
tanpa meminta restu dari Presiden. Di buku sejarahku  waktu SD ditulis, 
“Mayjen TNI Soeharto dengan tangkas memegang tampuk  pimpinan TNI yang 
lowong sepeninggal A Yani.” Kalau bisa dan boleh aku  ingin mengedit 
tulisan di buku sejarahku dengan kata-kata, “dengan  lancang Soeharto 
memegang tampuk pimpinan TNI.” Masih banyak orang yang  harusnya 
dimintai restu oleh Soeharto atas inisiatifnya memegang tampuk  pimpinan
 TNI.
 
Lalu
 dengan mudah Soeharto yang telah mengetahui semua seluk  beluk aksi PKI
 ini menumpas PKI. Hanya dalam waktu beberapa jam saja,  para pelaku 
pemberontakan PKI ditangkap dan sebagian lagi kabarnya  melarikan diri 
ke luar negeri. Lalu Soeharto menyebarkan doktrin bahwa  PKI telah 
melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno. Padahal PKI  bermaksud 
menggagalkan kudeta yang akan dilancarkan oleh para jendral  tersebut. 
PKI dijadikan kambing hitam oleh Soeharto atas apa yang memang  
diinginkannya. Satu langkah Soeharto untuk menguasai negeri ini  
berhasil.
Supersemar
 
Suasana
 negara saat itu benar-benar memburuk. Negara yang masih  muda ini 
serasa berasa di titik paling bawah dari keterpurukannya.  Perekonomian 
anjlok, harga bahan pangan menjulang, bahan pangan susah  didapat 
dimana-mana, kerusuhan pecah di seluruh wilayah negeri ini.  Beberapa 
elemen masyarakat melakukan aksi yang berbuntut dengan  dicetuskannya 
Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Isi Tritura adalah:
 
1.Bubarkan PKI
 
2. Turunkan  Harga
 
3. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur G 30 S  PKI
Aksi
 beberapa elemen  masyarakat ini di awali dengan aksi yang digelar oleh 
mahasiswa yang  menamakan dirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia 
(KAMI). Gerakan  mahasiswa ini juga diikuti oleh elemen masyarakat lain 
seperti Kesatuan  Aksi Guru Indonesia (KAGI), Kesatuan Aksi Pemuda 
Pelajar Indonesia  (KAPPI), dan lain-lain.Aksi-aksi inilah yang kemudian
 memicu pecahnya  revolusi di negara ini. Semakin lama situasi negara 
semakin memburuk.
Situasi
 ini akhirnya  yang memaksa tiga orang Jendral yaitu Letjen (yang baru 
naik pangkatnya)  Soeharto, Brigjen Amir Machmud dan Brigjen M Yusuf 
untuk menemui  presiden dan memaksa presiden agar segera memenuhi 
tuntutan rakyat.  Tritura harus dipenuhi jika presiden ingin 
mengembalikan situasi negara  ke arah yang kondusif.
 Soekarno menolak memenuhi tuntutan rakyat. Soekarno tahu bahwa ini 
semua  hanya kerjaan Soeharto yang memfitnah PKI sebagai pemberontak. 
Soekarno  tahu betul, tidak mungkin PKI berkeinginan untuk 
menggulingkannya namun  Soekarno tidak memiliki bukti yang otentik atas 
pernyataannya tersebut.  Soekarno tahu bahwa aksi yang dilakukan oleh 
PKI dengan nama G 30 S PKI  hanya bertujuan untuk menumpas rencana 
kudeta militer yang akan  dilakukan oleh sekelompok perwira tinggi yang 
menamakan dirinya Dewan  Jendral.
Setelah
 gagal untuk  memaksa presiden memenuhi tuntutan rakyat, ketiga jendral 
tersebut  berinisiatif membuat sebuah surat perintah atas nama presiden.
 Isi surat  perintah yang diberi nama Surat Perintah Sebelas Maret 
(Supersemar)  hingga kini hanya diketahui oleh hanya 4 orang, ketiga 
jendral tersebut  dan Soekarno, namun karena tiga diantaranya kini telah
 meninggal dunia,  maka kini hanya tertinggal satu lagi saksi sejarah 
yaitu Soeharto.  Sayang, Soeharto pun tidak ingin rakyat Indonesia tahu 
apa isinya, maka  dia lenyepkan supersemar yang asli dan buat sebuah 
surat perintah yang  palsu seperti yang kita tahu belakangan ini melalui
 buku yang kita  miliki ketika kita masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Teks Supersemar yang palsu, sedangkan yang asli,  hingga kini tidak ditemukan bangkainya
Supersemar
 yang telah  rampung dibuat diserahkan kepada Soekarno untuk 
ditandatangani, namun  Soekarno menolak untuk menandatanganinya. 
Soekarno tidak mau membubarkan  PKI namun juga tidak mempunyai alasan 
yang kuat atas kehendaknya tidak  ingin membubarkan PKI. Sementara 
rakyat telah didoktrin oleh Soeharto  bahwa PKI telah melakukan 
pengkhiatan terhadap negara dan ingin  menguasai negara ini dan 
menjadikannya negara berfaham Komunis.
Menurut
 pengakuan dari  seorang kakek tua tak lama setelah Soeharto lengser, 
bahwa dulu ia  bekerja di Istana Merdeka. Tugasnya adalah mengantarkan 
minuman buat  presiden. Pada saat ketiga jenderal itu sedang berada di 
ruang kerja  presiden, sang kakek memasuki ruangan dengan maksud ingin 
mengantarkan  minuman bagi presiden dan ketiga tamunya. Terkejutlah ia 
saat melihat  presiden sedang menandatangani sebuah surat yang 
diyakininya sebagai  supersemar di bawah todongan Pistol.
Pada
 saat sang kakek  mengungkapkan kisah ini, Jendral M Yusuf masih hidup, 
maka ia  diwawancarai oleh kru TV sehubungan dengan pernyataan sang 
kakek. Karena  M Yusuf berada pada posisi netral maka ia yang 
diwawancarai. Tapi  sayang, saya sangat yakin bahwa fakta yang 
diungkapkan sang kekek benar  adanya, tapi demi menyelamatkan sejarah 
yang sudah terputar balik dan  tak mungkin diubah lagi, maka Jenderal M 
Yusuf membantah bahwa presiden  menandatangani supersemar di bawah 
todongan pistol. Tapi saya yakin dan  sangat percaya, Jendral M Yusuf 
yang kala itu sudah pensiun membantah  hal itu karena ia sadar, jika ia 
bongkar rahasia ini, maka terbongkarlah  semua fakta sejarah dan 
Indonesia kembali terombang ambing dalam  keraguan. Mana yang benar? 
Sejarah versi Soeharto atau M Yusuf.
Akhirnya
 supersemar  ditandatangani oleh Soekarno, namun supersemar tidak 
ditujukan kepada  Soeharto. Hal ini membuat Soeharto panas, entah dengan
 cara apa,  Soeharto berhasil melenyapkan surat itu dan membuat 
pernyataan palsu  dengan mengatakan bahwa supersemar ditujukan kepadanya
 untuk memegang  tampuk pimpinan TNI untuk sementara dan mengembalikan 
stabilitas  nasional.
Dua
 langkah Soeharto  berhasil. Maka berpedoman pada surat perintah palsu 
yang dibuat oleh  Soeharto sendiri, ia mulai bergerak dan membubarkan 
PKI serta  antek-anteknya. Sebagian besar masa pendukung PKI, Gerwani 
dan berbagai  organisasi massa lain bentukan PKI dibantai secara masal, 
sebagian lagi  dipenjara. Ini dilakukan untuk menghilangkan jejak 
sejarah agar semua  kebusukan yang dilakukan oleh Soeharto tidak 
terungkap. PKI dijadikan  kambing hitam karena memang PKI pernah 
melakukan percobaan kudeta di  tahun 1948. Ini dijadikan alasan bagi 
Soeharto untuk semakin menjatuhkan  PKI.
Setelah
 PKI  dibubarkan, dengan wewenang palsunya Soeharto menyatakan bahwa PKI
  adalah Partai terlarang di Indonesia karena bertentangan dengan  
Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia.
Pidato
  pertanggungjawaban Soekarno dalam Sidang Umum MPRS tahun 1968 ditolak 
 oleh MPRS. Semua dipicu dari lambatnya Soekarno membubarkan PKI dan  
menjawab Tritura. Setelah itu dipilihlah seorang penjabat presiden  
hingga masa kepemimpinan Soekarno berakhir. Pada saat itu memang tak ada
  pilihan lain, Soeharto menjadi satu-satunya orang yang paling pantas  
memegang jabatan itu. Soekarno (mungkin dengan
  berat hati) menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto. Sejak 
 saat itu Soeharto resmi memegang jabatan sebagai Presiden RI melaui TAP
  MPRS No XLIV/MPRS/1968 dan berkuasa selama 32 tahun hingga akhirnya  
digulingkan juga dengan cara yang sama seperti ia berusaha menggulingkan
  Soekarno pada tahun 1968. 
    
Soeharto
 ketika diambil                                           sumpahnya     
                                                                        
                pada pelantikan dirinya sebagai presiden  kedua RI