
Sangat dikecewakan seorang tokoh ulama Islam yang cukup kondang namanya baik dikalangan Politik maupun sebagai mubaligh, mampu menghembuskan perpecahan ditubuh anak bangsa Indonesia, seolah-olah orang batak seluruhnya adalah kafir, maka kelihatanlah kebodohan beliau itu tentang Sejarah Bangsa, tentang suku bangsa Indonesia (ilmu Antropologi). Indonesia bukan Jawa saja , bukan Betawi saja, bukan Sunda saja, bukan Minang kabau saja, bukan Aceh saja, tetapi juga Batak Toba (mayoritas Keristen), Batak Mandailing yang mayoritas Muslim, dll.
Mari kita baca sejenak tentang himbauan seorang Batak Toba yang berprofesi seorang Pendeta, meskipun saya akui ada beberapa oknum Batak yang boleh dikatakan berpendidikan sering menghembuskan nada-nada miring tentang Islam: itu dapat dimaklumi 1- karena kefanatikan yang berlebihan sehingga rasa kenasionalannya hilang. 2- Kebutaannya akan sejarah yang benar tentang kebangsaan dan tentang sejarag perkembangan Agama, mari kita simak himbauan Pendeta Jan S. Aritonang menerbitkan buku tebal berjudul “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia”. Isinya berupa Saran-saran untuk umat Kristen dan Islam. Baca CAP ke-78, Adian Husaini. MA Pada tahun 2004 ini, seorang pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia dan dosen Sejarah Gereja di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, bernama Dr. Jan S. Aritonang menerbitkan sebuah buku tebal berjudul “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). Buku ini menarik karena – disamping dilengkapi dengan data-data sejarah yang melimpah – juga disertai dengan saran dan harapan untuk mengatasi konflik Islam-Kristen di Indonesia. Saran-saran itu ditujukan kepada pihak Kristen dan Islam.
Berikut ini  diantara sejumlah saran yang ditujukan kepada pihak Kristen dan catatan yang  kita berikan terhadapnya. (1) Orang Kristen tidak perlu ragu bahwa keselamatan  ada di dalam dan oleh Yesus Kristus. Sekali orang Kristen meragukan,  merelatifkan, atau melepaskan keyakinan yang sangat mendasar ini, patutlah  dipertanyakan apakah ia masih dapat dan layak disebut atau menyebut diri sebagai  orang Kristen. Tetapi, keyakinan itu tidak boleh membuat orang Kristen merasa  lebih selamat atau lebih unggul dari umat beragama lain. Sebab, Yesus Kristus  tidak datang untuk mendirikan sebuah agama dan tidak dapat dikuasai atau  dipenjarakan oleh sebuah agama yang namanya Kristen. Umat Kristen bukanlah  pemilik tunggal keselamatan. Tidak zamannya lagi mempertahankan semboyan  extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). .  Syndrom anak tunggal, yaitu kebanggaan semu sebagai satu-satunya umat yang  selamat, patutlah ditinggalkan. Tugas gereja dan orang Kristen adalah  memberitakan Injil keselamatan itu, bukan mengkristenkan orang lain.
Dengan  saran seperti itu, Pdt Jan S. Aritonang telah memasuki wilayab teologi yang  sensitif, terutama bagi kaum Kristen sendiri. Ia tetap menyarankan kaum Kristen  memegang teguh keyakinannya terhadap Yesus Kristus, tetapi pada saat yang sama,  ia menyatakan, bahwa bukan hanya orang Kristen yang selamat. Paham ini lebih  dekat ke gagasan “teologi inklusif” yang mewarnai Konsili Vatikan II. Dimana  dinyatakan, bahwa kebenaran ada di dalam Kristen tetapi juga ada pada agama  lain. Ia mengajak kaum Kristen melepaskan klaim Teologi Eksklusif, extra  ecclesiam nulla salus. Tetapi, masalahnya, bukan hanya antara agama Kristen  dan non-Kristen. Di antara sesama kaum Kristen sendiri, doktrin extra  ecclesiam nulla salus itu menjadi perdebatan panas. Gereja manakah yang  selamat? Apakah hanya Gereja Katolik atau ada Gereja lain yang selamat? Gereja  Protestan lahir belakangan setelah para reformis Kristen melancarkan  pemberontakan terhadap Gereja Katolik.
Pada 31 Oktober 1517, Marthin Luther  (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin  pernyataan (ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman. Ia  terutama menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” (indulgences)  oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan  doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya akibat  penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja  Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di  wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan gereja dan ajaran tersendiri terlepas  dari kekuasaan Paus. Luther bahkan menyebut Paus sebagai “Anti-Kristus”  (anti-Christ). Ia menyatakan, bahwa kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki  secara bersamaan. Kekuatan jahat tentunya memiliki tubuh dan nyawa. Nyawa dari  kekuatan Anti-Kristus adalah Paus, daging dan tubuhnya adalah Turki.  (Antichrist is the Pope and the Turk together. A beast full of life must  have a body and soul. The spirit or soul of Antichrist is the Pope, his flesh  and body the Turk).
Seperti kita tahu, pertentangan Protestan dan  Katolik telah melahirkan lembaran hitam dalam sejarah keagamaan di Eropa. Pihak  Katolik sendiri setelah ratusan tahun bertahan dengan klaim kebenaran  seksklusifnya, akhirnya melemah. Reverend Michael Parise menulis buku kecil  berjudul “Apakah Kita Satu-satunya Gereja yang Benar?” (Jakarta: Penerbit Obor,  1996). Ditulis dalam buku ini, bahwa “Gereja adalah Katolik.” Bagaimana orang  Katolik memandang jutaan orang Kristen non-Katolik, dirumuskan dalam buku ini:  “Mereka tentu dapat masuk surga dan memperoleh keselamatan, meskipun itu menjadi  lebih sulit tanpa bimbingan dan sakramen-sakramen Gereja.” Jadi, kaum Protestan  yang non-Katolik bisa masuk surga tetapi lebih sulit. Selanjutnya dikatakan,  bahwa Gereja Katolik mau mengakui Protestan, sejauh persekutuan-persekutuan  Protestan memelihara dan menyebarluaskan unsur Gereja Katolik Roma, dan menjadi  sesama rasul di jalan menuju keselamatan. Tetapi, tanpa persatuan iman yang  nyata dalam semua unsur penting dari Gereja Kristus, persatuan belum mungkin  terjadi antara Gereja Katolik dan Protestan.”
Soal klaim kebenaran antara  Protestan dan Katolik ini sesungguhnya lebih rumit dibandingkan klaim Islam dan  Kristen. Jika Pdt Jan S. Aritonang meminta kaum Kristen tidak ragu-ragu terhadap  keyakinannya bahwa keselamatan ada di dalam dan oleh Yesus Kristus, maka bisa  ditanyakan, keselamatan itu melalui Gereja yang mana? Melalui Gereja Katolik  atau Protestan?
Bagi kaum Muslim, saran Pendeta Aritonang itu tentu tidak  mudah dilaksanakan. Kaum Muslim yang meyakini kebenaran konsepsi Tauhid Islam,  pasti pada saat yang sama menolak kepercayaan lain yang bertentangan dengan  konsep Tauhid. Jika kaum Muslim meyakini bahwa Allah adalah Satu, Tidak Beranak  dan tidak diperanakkan, bahwa Isa a.s. adalah seorang Nabi, bukan Tuhan atau  anak Tuhan, maka tentu akan sangat sulit bagi kaum Muslim untuk tidak  menyatakan, bahwa konsepsi yang menyatakan Tuhan punya anak adalah konsep yang  salah. Problemnya, sangat berbeda dengan yang ada di dalam Kristen. Al-Quran  memuat begitu banyak ayat yang memberikan kritik terhadap konsepsi ketuhanan  Kristen. Bahkan, sejak awal, al-Quran telah mengkritik keras konsepsi teologis  kaum Kristen tersebut. Penyebutan Isa a.s. sebagai ‘Anak Allah’ disebut al-Quran  sebagai kesalahan serius. (QS Maryam:89-92, al-Maidah 72-75).
Apakah  konsepsi dan keyakinan itu harus diubah? Tentunya sangat sulit dan tidak  mungkin. Al-Quran akan tetap seperti itu, sampai akhir zaman. Al-Quran memang  satu-satunya Kitab Suci yang isinya banyak memberikan kritik terhadap agama  lain, khususnya Yahudi dan Nasrani. Namun, dalam sejarah Islam sudah terbukti,  konsepsi Tauhid dan eksklusif kaum Muslim, tidak melahirkan sejarah kekejaman  terhadap agama lain, sebagaimana sejarah Gereja melahirkan sebuah institusi yang  sangat kejam bernama INQUISISI. Sebagian kalangan Muslim – karena terpengaruh  cara pandang dan fenomena sejarah Kristen – percaya bahwa klaim kebenaran mutlak  terhadap kebenaran satu agama, akan melahirkan kejahatan, dan menjadikan agama  sebagai hal yang jahat. Dalam pengantarnya terhadap Buku Pendeta Aritonang ini,  Prof. Azyumardi Azra mengutip pendapat Charles Kimball melalui bukunya, When  Religious Become Evil (2003) – “Saat Agama Menjadi Jahat”. Menurut Kimball  ada lima tanda saat agama menjadi jahat. Yang pertama, adalah adanya klaim-klaim  kebenaran mutlak (absolute truth claims). Dikatakan oleh Azyumardi: “Setiap  agama – khususnya Kristen dan Islam – mengandung klaim-klaim kebenaran yang  merupakan landasan keimanan, di mana seluruh struktur dan institusi agama  berdiri. Ketika penafsiran-penafsiran tertentu terhadap klaim-klaim kebenaran  itu dipandang dan dipahami secara rigid dan literal, dan sebagai satu-satunya  kebenaran yang menuntut keseragaman, maka inilah awal dari bahaya yang merusak  agama, membuat agama menjadi jahat, dan akhirnya merusak kehidupan manusia.”
Pendapat Azyumardi yang mengutip Kimball itu sebenarnya rancu dan keliru. Di  dalam Islam, ada hal-hal yang memang satu dan seragam, disamping ada hal-hal  yang berbeda. Jika ditelaah, misi Rasulullah Muhammad saw adalah menyeru kepada  umat manusia, agar mengakui kebenaran Islam, dan mengakui kenabian beliau  sebagai Utusan Allah SWT. Karena itulah, beliau dan kaum Muslimin sesudahnya  bersemangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Jika bukan karena  semangat itu, Islam tidak akan sampai ke Indonesia, sampai ke Minangkabau,  dimana nenek moyang Prof Azyumardi Azra berasal. Apakah karena semangat  kebenaran eksklusif itu lalu Islam menjadi jahat?
Kristen juga dulu memiliki  semangat yang sama. Tapi, bisa dilihat dan dibandingkan, bagaimana cara dan  dampak yang dilakukan para dai Muslim dan misionaris Kristen di Indonesia. Jadi,  masalahnya bukan pada semangat dan keyakinan eksklusif akan kebenaran agama,  tetapi pada aspek modus. Pengalaman sejarah Kristen tidak dapat digeneralisasi  menjadi pengalaman semua agama. Seorang psikolog Barat, Scott Peck, menyatakan:  “Sekali kata ‘religion’ disebutkan di dunia Barat, ini akan membuat orang  berpikir tentang: … inquisisi, tahyul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik,  benar sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, pembakaran dukun,  larangan-larangan, ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, dan kegilaan.  Apakah semua ini yang Tuhan lakukan untuk manusia atau apa yang manusia lakukan  terhadap Tuhan. Ini merupakan bukti kuat bahwa percaya kepada Tuhan sering  menjadi dogma yang menghancurkan.” (Scott Peck, The Road Less  Travelled, (London: Arrow Books Ltd, 1990), hal. 237-238. Pendapat Peck  dikutip dari tulisan Dr. Fatimah Abdullah berjudul “Konsep Islam sebagai  Din, Kajian terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN al-Attas, di Majalah Islamia,  edisi ke-3, tahun 2004).
Kembali ke saran Pdt. Aritonang, ia tampaknya ingin  mengerem laju semangat menggebu-gebu sebagian kalangan misionaris Kristen yang  berambisi mengkristenkan seluruh bangsa Indonesia. Menurut Aritonang, diantara  kalangan Protestan, memang ada kelompok yang sangat agresif dan triumfalistik,  terutama beberapa yang baru muncul sebagai tiruan dari induknya di Barat,  terutama di Amerika Serikat. Kalangan Kristen pun sering terganggu oleh  penampilan dan cara-cara mereka berkiprah.
Saran lain Pdt Aritonang terhadap  umat Kristen adalah, agar: (2) Umat Kristen tidak lagi mencemooh ajaran, kitab  Suci, atau tokoh-tokoh Islam, dan tidak membiasakan diri merujuk atau menafsir  al-Quran dengan tujuan mencari pembenaran atas Kitab Suci atau ajaran Kristen.  (3) Umat Kristen perlu mempertimbangkan perasaan umat Islam ketika hendak  mendirikan rumah ibadah. (4) Umat Kristen juga perlu mempertimbangkan perasaan  umat Islam ketika hendak mengadakan acara-acara ibadah atau perayaan keagamaan,  baik di gedung gereja, gedung pertemuan umum, atau melalui media massa. (5)  Tidak perlu bersikap alergik dan traumatik terhadap kaum Muslim yang berbicara  tentang penerapan Syariat Islam. Pdt. Jan S. Aritonang juga mengimbau agar kaum  Kristen bersikap lebih simpatik dan bersahabat terhadap kaum Muslim: “Memandang  mereka sebagai seteru, pihak yang mengancam, atau pun yang harus ditaklukkan  demi Injil atau demi apa pun, adalah tindakan bodoh dan tidak terpuji.”
Saran-saran Pdt. Jan S. Aritonang itu tampak cukup simpatik. Beberapa  diantaranya pernah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan. Sayangnya, Pdt.  Aritonang kurang menampilkan karya-karya kaum Kristen yang menyudutkan Islam.  Padahal, buku-buku tentang itu sangat banyak dan melimpah. Sebagai contoh,  sejumlah buku dan brosur misonaris Kristen yang menggunakan judul-judul Islam,  untuk mengelabui umat Islam. Misalnya, buku-buku karangan Pendeta R. Mohammad  Nurdin yang berjudul: Kebenaran Yang Benar (Asshodiqul Mashduq), Keselamatan  Didalam Islam, Selamat Natal Menurut Al-Qur’an, Rahasia Allah Yang Paling Besar,  Ya Allah Ya Ruhul Qudus, Aku Selamat Dunia dan Akhirat. Juga buku  Upacara Ibadah Haji karya H. Amos, dan buku-buku karya Pendeta A.  Poernama Winangun yang berjudul seperti Riwayat Singkat Dan Pusaka  Peninggalan Nabi Muhammad, Ayat-ayat Al-Qur’an Yang Menyelamatkan. Misi  Kristen juga menggunakan brosur-brosur yang menggunakan nama-nama Islam, seperti  Brosur: Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, Yang dikeluarkan  oleh Dakwah Ukhuwah (P.O. BOX 1272/JAT Jakarta 13012).
Menindaklanjuti  saran-saran Pdt Aritonang, seyogyanya, kaum Kristen sendiri aktif menangani  masalah yang disarankan oleh Pdt Aritonang, agar kaum Muslim tidak memahami kaum  Kristen secara “gebyah uyah”. Kita paham, bahwa pendapat dan saran Pdt Aritonang  belum tentu diapresiasi oleh kalangan Kristen sendiri, apalagi oleh kalangan  “New Christian Right” yang berafiliasi dengan kalangan Gereja Kristen  fundamentalis di AS. Kalangan ini sangat bersemangat – dengan dana yang melimpah  ruah – mengkristenkan Indonesia, seperti ambisi mereka membangun sebuah Menara  Doa di Jakarta.
Meskipun secara umum, saran-saran Pdt Aritonang patut  diapresiasi dan ditelaah oleh kaum Muslim lebih lanjut, namun banyak juga hal  bisa dicatat dan dikritik dari buku Pdt Aritonang ini. Misalnya penggunaannya  terhadap istilah “Islam garis keras” terhadap beberapa kelompok Islam.  Penggunaan istilah itu sesungguhnya bermasalah. Siapa yang keras dan siapa yang  lunak? Apanya yang keras dan apanya yang lunak? Juga, sarannya kepada kaum  Kristen dan Islam, agar “di dalam kedua umat ini terbangun kesediaan untuk  mengakui keterbatasan masing-masing dalam hal agama, bahkan dalam memahami  wahyu, firman, dan kehendak Tuhan Allah. Dengan demikian bisa membebaskan diri  dari sikap memutlakkan.” Untuk memperkuat pendapatnya, Aritonang mengutip  pendapat Djohan Effendi, tokoh Islam Liberal: “Sebagai makhluk yang bersifat  nisbi, pengertian dan pengatahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau agama  sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh.”
Saran Pdt. Aritonang  ini bertentangan dengan sarannya agar kaum Kristen jangan meragukan bahwa  keselamatan ada di dalam dan oleh Yesus Kristus. Tampak di sini, Pdt Aritonang  tidak begitu yakin dengan pendapatnya sendiri. Saran ini pun tidak patut  disampaikan kepada kaum Muslim, sebab, kaum Muslim diperintahkan meyakini  kebenaran dari Allah dari sekali-kali tidak boleh meragukan kebenaran itu.  Pendapat Djohan Effendi adalah pendapat kaum Skeptik – dengan tokohnya Sextus  Empiricus – yang tidak pernah meyakini sesuatu hal, yang selalu “delaying  judgement”. Pendapat kaum skeptic ini selalu kontradiktif. Jika manusia nisbi  dan tidak mampu memahami kebenaran secara menyeluruh, maka artinya, dia sendiri  juga harus ragu terhadap statemen yang dibuatnya sendiri.
Dalam pandangan  Muslim, pendapat kaum Skeptik ini sebenarnya menghina Allah. Sebab, itu berarti  Allah menurunkan wahyu yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Ketika menurunkan  al-Quran, Allah paham, bahwa al-Quran diturunkan kepada manusia, dan manusia  pasti mampu memahami sebagai manusia, bukan sebagai Tuhan. Namun, Allah juga  memerintahkan agar kaum Muslim meyakini kebenaran al-Quran, yang tidak ada  keraguan di dalamnya. Akal manusia mampu memahami kebenaran secara menyeluruh,  dalam batas manusia. Karena itu, ada haq dan ada bathil. Jika orang tidak pernah  yakin mana yang haq dan mana yang bathil, maka dia sendiri masuk dalam golongan  bingung (golbin). Justru al-Quran diturunkan untuk menjadi petunjuk, untuk  menjadi furqan, yang membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Kaum Muslim  diperintahkan meyakini bahwa Nabi Isa bukan Tuhan atau anak Tuhan. Beliau a.s.  adalah manusia, Utusan Allah. Perintah itu begitu jelas dan gamblang. Kaum  Muslim diharamkan memakan daging babi dan meminum khamr. Larangan itu juga jelas  dan tidak perlu diragukan. Zina adalah haram. Keputusan Allah ini sangat jelas.  Yang haq dan bathil itu jelas. Yang haram itu jelas, yang halal juga jelas.  Diantara keduanya ada perkara syubhat. Agama Islam adalah agama yang jelas dan  kebenarannya dapat dipahami oleh umat manusia. Dari dulu sampai sekarang  milyaran umat manusia yang memeluk Islam tidak bingung. Jika Djohan Effendi dan  sejenisnya bingung dan tidak paham kebenaran, itu adalah urusannya sendiri.  Biarlah di akhirat nanti dia melaporkan kepada Tuhannya, bahwa selama hidup di  dunia, dia tidak dapat menjangkau kebenaran. Padahal, Allah sudah berfirman:  “Al-Haqqu min Rabbika falaa takuunanna minal mumtarin.” Al Haq itu  datang dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk dari golongan yang ragu. (QS  2:147). Wallahu A’lam. (KL, 20 November 2005). 
Share this article
 
 
nice articles to be publish.
ReplyDeletekeep going